Haruskah kita peduli pada siapa suami berikut Tamara Bleszinky atau Alya Rohali? Bagaimana kisah kasih gelapnya Taufik Hidayat yang konon membuahkan Exel? Lalu apa mobil terbaru Krisdayanti misalnya dan berapa nomor (maaf) bra nya Sarah Azhari? Sebenarnya tidak ada yang penting sama sekali.
Namun faktanya, sekitar 60 juta anak Indonesia menonton acara yang seperti itu di TV selama berjam-jam hampir sepanjang hari. Apalagi kebanyakan keluarga tidak memberi batasan menonton yang jelas kepada anak-anaknya. Seorang ibu yang gemar telenovela atau sinetron biasanya tidak peduli apakah anaknya tanpa sengaja ikut nonton juga meski masih di bawah umur misalnya.
Beberapa waktu polisi menemukan sesosok tubuh remaja puteri yang tergantung di rumahnya dengan menggunakan scarf putih. Motif kematian sang gadis ternyata bentuk peniruan dari cara yang digunakan sang puteri Huanzhu, idolanya, dalam salah satu episode drama televisi populer di Negeri Tirai Bambu, berjudul ‘Puteri Huanzhu’ dalam menghadapi masalah yang tidak teratasi.
Sebulan sebelumnya, si gadis tersebut mengubah model rambutnya mirip puteri pujaannya dan seringkali berperilaku menyerupai tokoh favoritnya tersebut. ”Televisi memang ibarat pisau bermata dua yang suatu saat bisa makan tuannya,” ujar Ketua Jurusan Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN), Jhon Herwanto SPsi MSi dalam sebuah bincangnya dengan Riau Pos akhir pekan lalu.
Menurutnya anak-anak dan juga remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan punya sifat ingin tahu tentang banyak hal. Celakanya, demi memuaskan rasa ingin tahu itu kebanyakan mereka mencoba mempraktikkan hal-hal negatif yang mereka contoh dari tayangan yang mereka lihat di televisi.
Ia menekankan peran orang tua sangat besar sekali untuk mendampingi sang anak dan remaja yang tengah mencari jati diri tidak tersesat kepada hal-hal negatif karena kuatnya pengaruh tayangan televisi yang penuh dengan adegan kekerasan, seks, mistik, intrik dan hedonisme lainnya.
Apalagi sebagian besar acara televisi saat ini memang memprihatinkan karena dari hasil penelitian psikologi ternyata tayangan-tayangan negatif telah memicu agresivitas pada anak. Tayangan negatif memperkuat teori Sigmuen Frued bahwa tingkah laku manusia didominasi oleh prilaku libido seksual.
Redatin Parwadi, seorang yang berhasil mempertahankan disertasinya di depan senat Guru Besar Universitas Gadjah Mada 25 Juli 2002 mengatakan ada relasi positif antara jenis tontonan televisi dan perilaku agresif responden. Dan, uniknya, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar pula kecenderungan terjadi penyimpangan nilai dan perilaku seseorang.
Hal ini pula lah yang memicu seorang aktivis Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) di Jakarta, B Gunarto, menggagas Gerakan Hari Tanpa TV yang disamakannya dengan peringatan Hari Anak Nasional yakni setiap 23 Juli.
B Gunarto mengatakan, hanya sedikit anak yang beruntung bisa memiliki berbagai kegiatan, fasilitas, dan orangtua yang baik sehingga bisa mengalihkan waktu anak untuk hal-hal yang lebih penting daripada sekadar menonton TV. ”Jutaan orangtua di Indonesia pada umumnya cemas dan khawatir dengan isi siaran TV kita,” ujarnya.
Pengamat acara televisi Firman Firdaus mendata hampir semua sinetron remaja saat ini menggambarkan persekongkolan yang menjijikan di kalangan anak sekolah, intrik asmara yang hiperbolis, cercaan terhadap pembantu, kata-kata kasar pada orang tua, dan segudang laku minus lainnya, dengan jam tayang yang sangat strategis: pukul 17.00-21.00 WIB.
Keberhasilan putera-puteri yang mengharumkan nama Indonesia lewat olimpiade sains tingkat dunia seakan menghilang ditelan gemerlapnya warna-warni lampu panggung Indonesian Idol. Kesuksesan luar biasa Septinus Saa dari Papua -daerah yang katanya terbelakang- menjadi pemenang Nobel Junior, melalui rumusannya mengenai bangun heksagonal, ‘dieliminasi’ nyanyian dan tarian para peserta Akademi Fantasi Indosiar.
Menurutnya lagi pemerintah maupun institusi lain, terbukti tidak mampu membuat peraturan yang bisa memaksa industri televisi untuk lebih sopan menyiarkan acaranya. Sehingga, tidak ada pilihan lain kecuali individu sendiri yang harus menentukan sikap menghadapi situasi ini.
Anggota masyarakat yang bersatu dan memiliki sikap yang sama untuk menolak perilaku industri televisi kita, akan menjadi kekuatan yang besar apabila jumlahnya makin bertambah. Penolakan oleh masyarakat yang merupakan pasar bagi industri televisi, pada saatnya akan menjadi kekuatan yang luar biasa besar.
Untuk itulah, menurut B Gunarto perlu ada ”Gerakan Hari Tanpa TV”. Ahad, 23 Juli 2006 bertepatan dengan ”Hari Anak Nasional” dipilih sebagai Hari Tanpa TV sebagai bentuk keprihatinan. Ia menambahkan bahwa keberhasilan dari gerakan ini akan membuktikan bahwa apabila masyarakat bisa bersatu melakukan penolakan terhadap perilaku industri televisi, maka sejak saat itulah kita bisa berharap ada perbaikan. Jadi, ia mengimbau pada hari itu, matikan TV selama sehari dan ajaklah anak-anak untuk melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat.
Ia juga menggalang dukungan Gerakan Hari Tanpa TV ini kepada seluruh masyarakat lewat web mail, www.kidia.org. Menurutnya, tayangan negatif berdampak serius pada anak seperti sering terjadi gangguan psikologi dan ketidakseimbangan emosi dalam bentuk kesulitan konsentrasi, perilaku kekerasan, persepsi yang keliru, budaya ‘instan’, pertanyaan-pertanyaan yang ‘di luar dugaan’ dan sebagainya.
Semua potensi pengaruh televisi bagi perilaku sosial masyarakat yang dapat dilihat dan dirasakan memang masih berada pada tataran kecenderungan-kecenderungan, meski sebenarnya tidak kalah mengkhawatirkan. Tidak lama lagi, (atau malah sudah?) kita akan mendapati masyarakat yang hedonis, konsumtif, bebas nilai dan norma, serta bodoh.
Namun faktanya, sekitar 60 juta anak Indonesia menonton acara yang seperti itu di TV selama berjam-jam hampir sepanjang hari. Apalagi kebanyakan keluarga tidak memberi batasan menonton yang jelas kepada anak-anaknya. Seorang ibu yang gemar telenovela atau sinetron biasanya tidak peduli apakah anaknya tanpa sengaja ikut nonton juga meski masih di bawah umur misalnya.
Beberapa waktu polisi menemukan sesosok tubuh remaja puteri yang tergantung di rumahnya dengan menggunakan scarf putih. Motif kematian sang gadis ternyata bentuk peniruan dari cara yang digunakan sang puteri Huanzhu, idolanya, dalam salah satu episode drama televisi populer di Negeri Tirai Bambu, berjudul ‘Puteri Huanzhu’ dalam menghadapi masalah yang tidak teratasi.
Sebulan sebelumnya, si gadis tersebut mengubah model rambutnya mirip puteri pujaannya dan seringkali berperilaku menyerupai tokoh favoritnya tersebut. ”Televisi memang ibarat pisau bermata dua yang suatu saat bisa makan tuannya,” ujar Ketua Jurusan Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN), Jhon Herwanto SPsi MSi dalam sebuah bincangnya dengan Riau Pos akhir pekan lalu.
Menurutnya anak-anak dan juga remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan punya sifat ingin tahu tentang banyak hal. Celakanya, demi memuaskan rasa ingin tahu itu kebanyakan mereka mencoba mempraktikkan hal-hal negatif yang mereka contoh dari tayangan yang mereka lihat di televisi.
Ia menekankan peran orang tua sangat besar sekali untuk mendampingi sang anak dan remaja yang tengah mencari jati diri tidak tersesat kepada hal-hal negatif karena kuatnya pengaruh tayangan televisi yang penuh dengan adegan kekerasan, seks, mistik, intrik dan hedonisme lainnya.
Apalagi sebagian besar acara televisi saat ini memang memprihatinkan karena dari hasil penelitian psikologi ternyata tayangan-tayangan negatif telah memicu agresivitas pada anak. Tayangan negatif memperkuat teori Sigmuen Frued bahwa tingkah laku manusia didominasi oleh prilaku libido seksual.
Redatin Parwadi, seorang yang berhasil mempertahankan disertasinya di depan senat Guru Besar Universitas Gadjah Mada 25 Juli 2002 mengatakan ada relasi positif antara jenis tontonan televisi dan perilaku agresif responden. Dan, uniknya, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar pula kecenderungan terjadi penyimpangan nilai dan perilaku seseorang.
Hal ini pula lah yang memicu seorang aktivis Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) di Jakarta, B Gunarto, menggagas Gerakan Hari Tanpa TV yang disamakannya dengan peringatan Hari Anak Nasional yakni setiap 23 Juli.
B Gunarto mengatakan, hanya sedikit anak yang beruntung bisa memiliki berbagai kegiatan, fasilitas, dan orangtua yang baik sehingga bisa mengalihkan waktu anak untuk hal-hal yang lebih penting daripada sekadar menonton TV. ”Jutaan orangtua di Indonesia pada umumnya cemas dan khawatir dengan isi siaran TV kita,” ujarnya.
Pengamat acara televisi Firman Firdaus mendata hampir semua sinetron remaja saat ini menggambarkan persekongkolan yang menjijikan di kalangan anak sekolah, intrik asmara yang hiperbolis, cercaan terhadap pembantu, kata-kata kasar pada orang tua, dan segudang laku minus lainnya, dengan jam tayang yang sangat strategis: pukul 17.00-21.00 WIB.
Keberhasilan putera-puteri yang mengharumkan nama Indonesia lewat olimpiade sains tingkat dunia seakan menghilang ditelan gemerlapnya warna-warni lampu panggung Indonesian Idol. Kesuksesan luar biasa Septinus Saa dari Papua -daerah yang katanya terbelakang- menjadi pemenang Nobel Junior, melalui rumusannya mengenai bangun heksagonal, ‘dieliminasi’ nyanyian dan tarian para peserta Akademi Fantasi Indosiar.
Menurutnya lagi pemerintah maupun institusi lain, terbukti tidak mampu membuat peraturan yang bisa memaksa industri televisi untuk lebih sopan menyiarkan acaranya. Sehingga, tidak ada pilihan lain kecuali individu sendiri yang harus menentukan sikap menghadapi situasi ini.
Anggota masyarakat yang bersatu dan memiliki sikap yang sama untuk menolak perilaku industri televisi kita, akan menjadi kekuatan yang besar apabila jumlahnya makin bertambah. Penolakan oleh masyarakat yang merupakan pasar bagi industri televisi, pada saatnya akan menjadi kekuatan yang luar biasa besar.
Untuk itulah, menurut B Gunarto perlu ada ”Gerakan Hari Tanpa TV”. Ahad, 23 Juli 2006 bertepatan dengan ”Hari Anak Nasional” dipilih sebagai Hari Tanpa TV sebagai bentuk keprihatinan. Ia menambahkan bahwa keberhasilan dari gerakan ini akan membuktikan bahwa apabila masyarakat bisa bersatu melakukan penolakan terhadap perilaku industri televisi, maka sejak saat itulah kita bisa berharap ada perbaikan. Jadi, ia mengimbau pada hari itu, matikan TV selama sehari dan ajaklah anak-anak untuk melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat.
Ia juga menggalang dukungan Gerakan Hari Tanpa TV ini kepada seluruh masyarakat lewat web mail, www.kidia.org. Menurutnya, tayangan negatif berdampak serius pada anak seperti sering terjadi gangguan psikologi dan ketidakseimbangan emosi dalam bentuk kesulitan konsentrasi, perilaku kekerasan, persepsi yang keliru, budaya ‘instan’, pertanyaan-pertanyaan yang ‘di luar dugaan’ dan sebagainya.
Semua potensi pengaruh televisi bagi perilaku sosial masyarakat yang dapat dilihat dan dirasakan memang masih berada pada tataran kecenderungan-kecenderungan, meski sebenarnya tidak kalah mengkhawatirkan. Tidak lama lagi, (atau malah sudah?) kita akan mendapati masyarakat yang hedonis, konsumtif, bebas nilai dan norma, serta bodoh.
No comments:
Post a Comment