10/31/2008

Sang Peradaban

Lukisan mahal
Goresan tinta tetesan darah
Sejarah dan sampah
Opera megah warisan kemenangan
Dibalik cerita peperangan
Yang ditulis dengan tumpah air mata

Cinta dan perang
Suci dan keagungan
Memang barisan kata
Yang seringkali bersenggama
Untuk sekali lagi menegaskan
Bahwa kenyataan
Tidak akan pernah diam
Dan mati terbungkam!

Nyanyian peradaban
Tarian yang tidak lagi mengasyikkan
Tak ada kemeriahan
Ataupun warisan kejayaan
Selain imaji kebahagiaan
Dan jejak-jejak perbudakan

(Malang, 27 Okt '08)

Dialektika Cinta

Kau lihat sayang,
Langit termenung sendiri malam ini
Ia tidak mampu tertawa seperti biasanya
Apalagi bermain bersama sang awan
Entah menghilang kemana dia
Gelap dan hanya ditemani sang bulan
Yang juga melamun tanpa teman

Tahu tidak kenapa?

Karena bintang-bintang
Telah aku korupsi malam ini

Mulai hari ini
Jika sang pagi telah menjelang
Matahari tidak akan lagi mengusirnya
Dan jika sang malam telah datang
Tak seorangpun yang bisa menatapnya
Merasakan kilaunya yang menawan
Dan tak satupun ilmuwan yang akan merebutnya

Kau tahu,
Bintang-bintang itu kini hanya milikku
Semuanya telah aku simpan rapat
Menjadi koleksi pribadiku
Bersama amarah, cinta dan gairah
Aku penjarakan mereka di tempat yang gelap
Mendekap rapat jadi satu

Dan kau tidak perlu risau
Ada satu yang masih kusisakan untukmu
Agar kau tak lagi berduka
Hingga kelak, hanya engkaulah satu-satunya yang bersinar

Tapi...

Hei tunggu, belum apa-apa!
Itu hanya intro sayang
Permainan ini belum dimulai
Masih banyak konspirasi besar yang kurancang untukmu

Kau tahu, mungkin nanti
Juga akan kurencanakan sebuah penculikan
Kepada matahari atau sang bulan

Ini bukan kudeta untuk menjatuhkan Tuhan
Ataupun makar untuk sekedar merebut kekuasaan
Tidak, bukan seperti itu!

Akan kusiapkan sebuah rencana pertunjukan
Dimana kamu akan merasakan
Indahnya nafas percintaan
Yang bukan eksklusif, basa-basi atau sekedar birahi
Bukan pula sekedar imaji cinta yang menjadi tren hari ini

Tapi kamu akan mengerti sayang,
Bahwa ini semua tentang rasa, nurani dan harmoni

(Malang, 27 Okt '08)

Biarkan Bumi Bercerita

Semua orang tahu
Jika kamu tidak lagi mengenal matahari
Dan hidup dikejar penyesalan
Itulah saat yang kita takutkan
Dimana bumi telah kalah

Karena itu biarkan ia bercerita untuk kita...


Aku
Tidakkah kalian tahu
Apa yang sebenarnya ku rasakan

Lelah?
Tidak! Aku tidak pernah lelah
Jutaan tahun aku menghabiskan waktu
Untuk menimang kalian
Memanjakan setiap hak hidup yang kalian miliki

Seberapa sering aku menjadi rajatega
Untuk mengkhianati kalian
Apakah itu tidak cukup untuk membuat kalian tahu
Sekedar membuat kalian ingat
Bahwa seberapa sering kalian mengkhianati aku

Di saat mata kalian terbenam
Aku tidak pernah berhenti berdetak, bahkan sedetik pun
Untuk terus mengejar matahari
Agar tidak ikut terbenam bersama kalian

Dapat kulihat rahasia hati di gejolak hidup kalian
Ditemani bintang, diiringi bulan
Kumainkan sinema pagi, siang dan malam
Tetap setia kujalani rutinitas membosankan ini
Karena tanggung jawabku untuk kalian

Tapi nyatanya
Kalian memang tidak tahu terima kasih!

Wahai mata yang selalu terbenam
Gejolak jiwa yang tidak pernah terhalang
Tidakkah kalian sadari ini
Seperti kata penyair yang kalian idolakan
" Aku juga ingin hidup 100 tahun lagi..."

Tapi kalian telah berkhianat
Lihatlah betapa rasa sayang yang telah kuberikan
Telah kau rubah sendiri menjadi kutukan
Karena itu, jangan salahkan!
Jika nanti kumuntahkan amarah
Dibawah langit yang akan pekat menghitam

(Malang, 25 Okt '08)

10/26/2008

Pusara Hati Untuk Sahabat

Tak ada lagi genjrengan gitar bolong
Yang tidak bercerita apapun tentang nada-nada

Tak ada lagi ocehan cempreng
Yang menemani tubuh-tubuh tumbang

Tak ada lagi nasehat yang sok tua
Tapi ah, nyatanya selalu tepat mengena

Kemana kau?
Pergi kemana kau?!


Menatap pusara yang dimakan panas
Kering, retak dan meninggalkan kenangan
Terdiam ku tak bergerak
Dan ah, akhirnya jatuh juga tangisan ini
Pada seutas ketegangan jiwa dan hasrat
Yang tergeletak diantara kebisingan melodia angkara

Sejenak meninggalkan ragu
Benarkah ini dirimu kawan!?
Bodoh, tentu saja!
Ah, semoga ini salah, semoga ini mimpi...

Tapi ternyata tidak!

Hening hingga ku beranjak
Tanah basah di areal sepi ini seakan ikut terbenam
Ke dalam nyanyian kelam yang mengiringi hari ini
Semua memori kita seakan tidak menyisakan apa-apa
Hilang lenyap tereduksi menjadi kalam doa
Yang masih berusaha kupanjatkan
Diantara kemarahan, penyesalan dan kesedihan ini

Maaf kawan, maaf!
Aku sama sekali tak menyaksikan itu
Gejolak pesakitan yang ternyata bersarang di tubuhmu
Maaf kawan, maaf!
Aku terlalu percaya pada keceriaanmu
Pada semangatmu yang menyala
Pada langkahmu yang begitu tak terbendung
Semua pesona itu begitu meyakinkan
Sampai ku tahu bahwa ku salah

Tapi kenapa?!
Kenapa kau diam saja!
Sekian lama kita terpisah
Dan pada akhirnya
Ah, akhir yang harus kuterima ini
Kenapa jalan ceritanya harus seperti ini?
Sekali lagi aku mengalami episode seperti ini
Kenapa mesti terulang kembali?
Tahukah kamu
Ini semua sangat menyesakkan!

Tapi setidaknya aku bisa belajar
Aku tahu, hari ini pasti menoreh luka
Bukan hanya untukku
Tapi juga lembar-lembar mimpi kita
Hancur, kita sama-sama terluka
Tapi inilah penghabisan
Yang tak mampu kutagih pada siapapun
Penghujung jalan ini
Harus terus kubangun kembali
Untuk menutup semua keresahan ini

Sahabatku...
Masihkah engkau percaya?
Tentang kisah kebesaran hati
Yang pernah kita genggam bersama
Bahwa hidup ini adalah arena pertarungan
Yang selalu menyisakan pilihan
Mati terlupakan atau dikenang karena kalah
Dan mana yang kau pilih?

Sahabatku...
Ini bukan ajang taruhan
Siapa mati lebih dulu, dia yang kalah
Bukan! Bukan seperti itu!
Skenario ini pasti kita jalani
Tak peduli aku ataupun kamu
Hari ini atau esok
Tak peduli kapanpun itu
Cerita ini pasti akan diakhiri
Semua ini pasti akan kita hadapi

Hingga kematian memisahkan kita
Maafkan aku sahabat...

Sebuah memoar hati untuk seorang kawan
Yang meninggalkan kenangan terdalam
Bagi mimpi-mimpi indah yang takkan pernah tercapai

In memoriam...
Andrean Putra Chandrawinata (1982-2008)

Fenomena Era Konsumtif

Faktor utama yang membuat masyarakat konsumen modern menjadi mungkin dan niscaya adalah keberhasilan dari Revolusi Industri, khususnya dalam meningkatkan produktivitas buruh. Revolusi Industri --dimulai dengan Inggris lebih dari 200 tahun silam-- yang menggabungkan inovasi teknologi dan manajemen sehingga memungkinkan buruh pada umumnya menghasilkan output (produk) yang lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya. Populasi kita juga menjadi dua kali lipat, beberapa kali dan menjadi lebih banyak lagi, namun pertumbuhan produktivitas --juga outputnya-- berlangsung jauh lebih cepat sehingga output per orang akan semakin lebih banyak beberapa kali lipat. Inilah yang secara mendasar merupakan penjelasan bagi meningkatnya standar kehidupan yang demikian menonjol pada bagian awal abad ini, hingga masa sekarang.


Sebelum abad ke-17, orang pada umumnya hanya memiliki satu pakaian, atau apabila ia cukup sejahtera, bisa memiliki dua atau lebih potongan pakaian selama masa dewasanya. Jumlah barang yang dimiliki oleh sebuah keluarga yang bukan golongan elit mungkin dapat dihitung dengan jari. Sedikit sekali. Dan kini gaya hidup semacam itu kita sebut sebagai kemiskinan.

Karena itu, dengan pertumbuhan produktivitas yang begitu cepat dan fantastis, melampaui pertumbuhan populasi itu sendiri, maka ekonomi kita lantas bergantung pada konsumsi massa(1). Logikanya sederhana! Karena kita menjadi semakin produktif maka akan semakin banyak pula barang yang dihasilkan. Apa yang dihasilkan harus dijual, ini adalah syarat mendasar. Karena kebutuhan dasar orang semakin terpenuhi, maka ada kemungkinan bahwa kita sedang mendekati titik jenuh. Lalu, apa yang akan terjadi pada sistem yang terus berputar untuk menghasilkan barang-barang yang semakin bertambah ini? Perhatian ini merupakan dasar bagi pengerahan lebih banyak bakat dan energi masyarakat kita untuk menemukan cara agar orang menginginkan barang-barang yang semula tidak mereka butuhkan.

Oleh karena itu, korporasi atau industri raksasa diciptakan untuk membujuk setiap orang agar yang mempunyai uang agar tetap menggunakannya untuk membeli semakin banyak dan semakin banyak. Bukan hanya barang-barang yang akan membuat hidup mereka lebih baik, tetapi juga barang X yang hanya menciptakan persoalan, serta barang Y untuk memecahkan persoalan yang diciptakan oleh barang X, dan ini terjadi berulang-ulang dalam berbagai hal. Inikah yang kita inginkan, kawan?

Imaji yang Ditawarkan kepada Manusia

Sebenarnya apa sih yang diinginkan oleh mayoritas setiap manusia? Yaitu rasa aman, kenyamanan, kehormatan dan hiburan. Manusia telah sangat berhasil dalam meraih tiga di antara empat hal tersebut.

Rasa aman; sebagian dari kita tidak harus mencemaskan dari mana makanan kita berasal. Toh, pada akhirnya kita semua akan mati, tetapi umumnya kita beralasan untuk selalu berharap dapat hidup lebih dari 70 atau bahkan 80 tahun.

Kenyamanan; di antara banyak kenyamanan istimewa yang telah kita raih, perrtumbuhan produktiftas telah memungkinkan masyarakat sekarang memiliki komoditas yang lebih baik yang pastinya akan membuat iri para raja maupun bangsawan di abad-abad silam. Sebagian besar hal itu merupakan hasil dari teknologi, yang sekaligus merepresentasikan fakta bahwa akses kita terhadap benda material maupun energi menjadi lebih kaya ketimbang aristokrat di zaman kuno.

Hiburan; kita juga telah menikmati hal ini sama baiknya dengan kenyamanan. Contohnya adalah akses kita sepanjang 24 jam sehari untuk membaca buku, mendengarkan atau bermain musik, menonton film ataupun bermacam-macam hiburan lainnya.

Lalu bagaimana dengan kehormatan? Hal-hal yang membuat kita merasa dihargai oleh orang lain, hal-hal yang menciptakan rasa seperti ini akan sangat bervariasi dari tiap individu maupun budaya, namun keinginan akan rasa hormat itu tampaknya bersifat universal. Dalam masyarakat kita, salah satu cara untuk mendapatkan kehormatan ialah melalui keberhasilan. Bagi banyak orang, penghargaan sangat terkait dengan apakah mereka mampu meraih keberhasilan dalam hal-hal yang diakui oleh kelompok mereka. Istilahnya mungkin bisa berbeda-beda, namun seluruh definisi keberhasilan ini sangat terkait dengan apa yang terjadi pada pertumbuhan setelah masa Revolusi Industri. Kita dibujuk oleh produsen bahwa harga diri kita menuntut agar kita bertindak lebih pintar daripada orang lain (yang bekerja sangat keras agar lebih maju dibanding kita), karena keberhasilan didefinisikan sebagai keberhasilan material !

Siapa yang mati dengan banyak mainan, dialah yang menang… “

Kita tidak bisa melepaskan diri dari alur atau siklus kehidupan ini, sebab uang untuk membiayai kehidupan yang aman, nyaman, menghibur serta berhasil tentu menuntut adanya kerja keras dari pekerjaan yang bisa menghasilkan; dan tidak akan ada pekerjaan jika orang-orang tidak selalu membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan yang diproduksi oleh para pekerja produktif ini. Dan hal inilah yang menjadi bagian dari penjelasan tentang mengapa masyarakat kita mendefinisikan kehormatan dengan istilah keberhasilan. Inilah imaji kebahagiaan yang sangat kuat yang bisa memikat manusia sedemikian rupa, karena definisi itu membuat kita ingin terus mengejar lebih banyak uang dan membelanjakan lebih banyak uang lagi sehingga akan terus membuat sistem yang menyebalkan ini tetap hidup dan bekerja. Inilah jantung budaya konsumerisme, imbas dari sistem dominasi kapitalisme.

Sebuah Harapan Menuju Transisi
Jadi, disinilah sekarang kita berada, di dalam situasi ketika masyarakat harus mengonsumsi lebih banyak sekalipun hal-hal yang dikonsumsi tersebut tidak akan menambahkan apapun pada kesejahteraan atau kebutuhan tertentu. Seandainya orang melawan tekanan untuk memasuki arena balap-tikus konsumerisme --mencari lebih banyak uang untuk mengonsumsi lebih banyak lagi—maka akan terbayanglah suatu kegagalan bisnis, karena para produsen tidak dapat menjual apabila konsumen tidak dapat membeli. Bayangkan seandainya kita semua bersepakat bahwa kita harus menjauh dari budaya konsumerisme yang begitu total dan mengakar karena alasan-alasan kemanusiaan, lingkungan, kultural atau mungkin spiritual, sangat jauh! Mustahil kita bisa membayangkannya secara menyeluruh, mungkin kita hanya dapat membayangkan retakan-retakan yang akan muncul disekitarnya. Tapi jelas retakan inilah kesempatan yang kita punya untuk lebih memperbesar lagi retakan yang nantinya akan meluluhlantakkan sistem (menyebalkan) ini.

Dan inilah yang harus kita sadari, ketika Anda memikirkan mengenai hal ini, tentunya Anda akan menyadari bahwa tidak ada yang lebih buruk daripada sistem kita saat ini. Dimana semuanya dilabeli oleh harga dan imaji-imaji kebahagiaan semu. Untuk mengubah nilai-nilai yang telah telanjur dipegang teguh oleh khalayak luas ini sangatlah sulit bukan?! Apalagi menuju transisi dunia yang berbasis nilai-nilai manusia daripada nilai-nilai yang didikte oleh harga. Ah, situasi yang sangat kompleks dengan banyak unsur yang saling dependen. Namun, tentunya kita masih memiliki cukup waktu untuk sedikit demi sedikit menyadarinya dan berjalan bersama menuju indahnya transisi tersebut.

So, let’s dance together dude,
believe that your desires are more essencial than your useless needs…

Rekam Jejak :
(1) Ketika berbicara mengenai ‘barang konsumsi massa’, istilah tersebut harus dipahami sebagai barang maupun jasa. Jadi barang konsumsi massa disini saya artikan sebagai barang yang mudah didapat, dan memang, diproduksi secara massal. Barang mewah, sebaliknya, diproduksi dalam jumlah sedikit dan terbatas sehingga memberi penampilan yang istimewa untuk sekelompok elit pembeli yang jumlahnya terbatas. Perlu juga dicatat bahwa barang konsumsi massa juga mencakup barang dan jasa yang diperlukan demi kelangsungan hidup manusia dan karena itu juga dapat dikatakan untuk melayani kebutuhan dasar manusia

10/09/2008

Instruksi Imaji

Ketika nyawa hanya dipertaruhkan diantara titik hidup dan mati
Dan dunia selalu berputar diantara kehampaan-kehampaan pergulatan
Maka kepastian dan ketidakpastian akan tetap menjadi pertanyaan
Dan tidak akan memberikan jawaban

Ketika kepuasan hanya didefinisikan pada komoditas dan kemewahan
Dan ketidakpuasan selalu menjadi milik mereka yang terpinggirkan
Kebahagiaan tidak akan pernah terasa secara nyata
Dan tetap tidak akan memberikan jawaban

Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk menjawab semua itu ?

Hanya satu yang mampu menjadi jawaban
Kreasikan hidupmu !

(Gresik, 28 Sept '08)

Total Resistensi

Ketika tindakan diam tidak akan menghasilkan apa-apa
Dan semua kreasi yang kita lakukan menjadi lenyap tak bersisa

Ketika imitasi telah menjadi budaya yang diberhalakan oleh semua orang
Dan semua area imajinasi kita hanya terbatas pada pena dan kertas

Sejak semua tindakan apatis diartikan sebagai dukungan
Dukungan penuh terhadap semua sistem yang dominan pada hari ini

Maka yang harus kita lakukan adalah
Menjadi sekuntum bunga yang akan tumbuh bersama
Diantara deretan tembok-tembok kekuasaan
Untuk sedikit demi sedikit menggerogotinya secara perlahan

Dan pada akhirnya
Akan merubuhkan kekuasaan itu sendiri !

(Gresik, 7 Okt '08)

8/30/2008

Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme

Menjadi Mahasiswa : Kuliah Sebagai Obsesi
Memasuki perguruan tinggi merupakan cita-cita setiap remaja. Minat memasuki perguruan tinggi rata-rata meningkat dari tahun ke tahun. Ini membuktikan bahwa melanjutkan pendidikan tidak hanya berhenti pada tingkat SMU saja.Bahkan mulai banyak orang yang menyadari bahwa pendidikan adalah hakikat manusia dalam kehidupan, pendidikan seumur hidup (long-life education).

Bagi mereka, memasuki perguruan tinggi diiringi berbagai macam obsesi. Obsesi mencari ilmu dan pengetahuan, bisa jadi, alasan yang telah usang. Alasan utama seringkali adalah memudahkan mencari pekerjaan. Pendidikan adalah sarana yang membantu memudahkan mobilitas sosial. Dengan kuliah diharapkan akan mendapatkan pekerjaan yang berbeda dengan mereka yang hanya lulusan sekolah (SD, SMP atau SMU). Pada kenyataannya obsesi semacam itu kian hari semakin jauh dari benak para remaja yang hendak memasuki perguruan tinggi – selanjutnya akan disebut kampus.

Dalam budaya yang telah berubah ini, yang dimaksud mobilitas sosial bukan berarti berkaitan dengan masalah (mendapatkan) pekerjaan, posisi atau jabatan yang mendatangkan uang. Dalam iklim budaya kapitalistik sekarang ini, mobilitas lebih banyak bermakna perubahan gaya hidup. Menjadi mahasiswa adalah soal status yang mendefinisikan gaya hidup kaum muda yang dicirikan sebagai kaum yang bergaya hidup berbeda dibanding kaum lainnya. Gaya hidup mahasiswa adalah gaya hidup kelas menengah – bahkan juga gaya hidup kelas atas, yang dicirikan dengan kemampuannya mengonsumsi produk dan gaya hidup modern.

Apalagi muncul sebuah tendensi dimana mahasiswa tidak lagi bercitra sebagai kaum intelektual, pembela rakyat atau aktivis perubahan (agent of change). Posisi dan peran insan kampus ini mengalami titik kritis dan dipandang oleh masyarakat semakin tak jelas lagi.

Mengingkari Sejarah
Sejarah gerakan mahasiswa adalah sejarah pembebasan rakyat, sejarah perubahan bagi terciptanya keadilan sosial. Di Indonesia, gerakan mahasiswa lahir atas kondisi historis untuk menjawab kondisi penindasan bangsa.

Budaya mahasiswa saat ini berbeda dengan mahasiswa zaman dulu: malas membaca dan belajar, kecuali buku teks dengan maksud mengejar kepentingan akademik pragmatis, supaya dapat nilai formal yang baik. Kebanyakan dari mereka, dalam budaya hedonistik kapitalisme, menghambur-hamburkan uang orangtua (hasil keberhasilan status sosial dalam logika penindasan kapitalisme) dan jarang yang berpikir susah-susah. Waktu mereka hanya untuk bersenang-senang dan jelas seperti binatang yang bergerak dan hidup berdasarkan insting (kehendak). Mirip binatang, mengendus-endus produk di mall, memenuhi insting spesies makhluk (seks) dengan “pacar”, diperbudak dengan pasangannya hanya untuk menghabiskan waktu dengan “bercinta” dan membuang-buang waktu bagi cinta universal (untuk kehidupan sosial yang adil).

Pada perkembangannya, hakikat mahasiswa sebagai “siswa” yang “maha” justru terbalik: Mereka, sebagai bagian dari budaya konsumen dan “anak modal”, justru tidak hadir sebagai golongan sosial yang mampu berpikir kritis-filosofis dan tidak mampu menjadikan diri sebagai manusia yang mempertanyakan segala sesuatu (realitas sosial) untuk kemudian menjadi kekuatan perubahan bagi struktur sosial yang adil. Tentu saja hal ini menyimpang bukan hanya secara hakikat eksistensial manusia terdidik yang disebut mahasiswa, tetapi juga secara konteks sejarah gerakan mahasiswa itu sendiri.

Mahasiswa Sebagai Tumbal Kapitalisme Pasar ?
Sekarang ini, mahasiswa diasingkan dari realitas sosial dan dari kebiasaan berpikir kritis serta berilmu pengetahuan baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Dalam hal ini, kapitalisme menyerang dan membentuk mahasiswa agar ia tak lagi dapat menjadi “mahasiswa sejati”, yang belajar sungguh-sungguh dan “haus pengetahuan”, lalu beranjak membela kebenaran dan keadilan. Dengan demikian , semakin mahasiswa jauh dari ilmu pengetahuan dan aksi keberpihakan, maka upaya yang dilakukan kapitalisme untuk mempertahankan penindasannya akan berhasil.

Dari sini kita melihat bahwa munculnya gaya hidup “anti-ilmiah” dan “anti-aksi advokasi di kalangan mahasiswa bukan muncul dengan sendirinya tapi memang sengaja dibentuk. Jangan menyalahkan mahasiswa, tapi juga jangan memanjakannya. Di sisi lain, meskipun tidak berlaku pada semua mahasiswa (atau kaum muda), kapitalisme (terutama di sektor pendidikan) juga menindas secara ekonomi. Bukti penindasan tersebut adalah munculnya aksi-aksi yang masih saja terjadi soal isu mahalnya pendidikan, aksi menolak kenaikan SPP dan pungutan liar, aksi menolak komersialisasi kampus hingga menuntut pendidikan gratis, ilmiah dan demokratis. Selain itu, pendidikan kapitalis itu sendiri telah mendiskriminasi kalangan muda dalam meraih pendidikan tinggi. Berapa banyak lulusan sekolah menengah atas yang tak bisa menikmati pendidikan tinggi. Lagi-lagi, karena pendidikan mahal dan terkomersilkan, sehingga hanya anak orang kaya saja yang boleh belajar di perguruan tinggi.

Berdasarkan desain para penumpuk modal, terutama yang berlevel internasional, diharapkan kampus tidak menjadi penghalang bagi usahanya dalam mengakumulasi kapital (modal). Bahkan generasi muda dan mahasiswa dicetak untuk meraih profesi-profesi yang kelak akan mengabdikan diri pada penumpuk modal. Peran negara juga diharapkan sesuai dengan kepentingan mereka. Untuk menghilangkan kemungkinan bagi terciptanya mahasiswa-mahasiswa yang kritis dan menentang kapitalisme, negara diharuskan melakukan sistem pendidikan dan kebijaksanaan kampus yang tidak memungkinkan para mahasiswa untuk memulai perubahan. Tentu saja usaha ini juga sejalan dengan kepentingan birokrasi-birokrasi kampus yang diuntungkan jika mahasiswanya bodoh-bodoh. Kalau bisa, dibuat bagaimana mahasiswa hanya dieksploitasi dari pembayaran-pembayaran dana pendidikan yang akan menguntungkan pihak-pihak yang berkaitan. Sementara tidak pernah kemudian budaya akademis yang kritis itu digagas,

Kegiatan-kegiatan mahasiswa yang diapresiasi adalah kegiatan yang tidak memungkinkan mahasiswa berpikir, apalagi kritis dan melawan kesewenang-wenangan kampus dan “negara yang terkapitalkan”. Kita bisa lihat, kegiatan-kegiatan yang bersimbiosis dengan suatu faksi kapital akan selalu menjadi besar dan digandrungi oleh banyak mahasiswa ketimbang kegiatan yang memungkinkan mahasiswa kritis. Bola basket, cheerleaders, parade musik, paduan suara dan lain-lainnya akan selalu mendapat biaya yang besar terutama dari kekuatan kapital, dan dalam banyak kampus lebih didukung oleh pihak birokrasi. Kegiatan yang memungkinkan mahasiswa menjadi objek pemuja artis, yang membuat mahasiswa tidak bisa berpikir selain memuaskan budaya hedonisme, akan lebih melanggengkan sistem kapitalisme dan penindasannya. Sementara kegiatan-kegiatan seminar, diskusi dan ekspresi mahasiswa atas ketimpangan sosial berupa aksi akan dihadapkan dengan birokrasi yang njelimet, bahkan tidak jarang juga ditolak mentah-mentah.

Intinya, mahasiswa dan calon mahasiswa (remaja dan kaum muda) di negeri ini mengalami penindasan. Disini terdapat konstruksi gaya hidup dan budaya, meskipun bukan kontradiksi pokok, namun merupakan pintu masuk bagi kapitalis untuk bertahan dan melakukan penindasan. Kalau kaum muda bodoh dan tanpa pendidikan, kalau nalar kritis ditumpulkan dan pengetahuan dijauhkan, siapa pun akan menjadi rombongan makhluk idiot dan ‘penurut’ yang dengan begitu mudahnya diarahkan, dibentuk, dikuasai dan ditindas demi kepentingan segelintir elite (modal) yang memegang kekuasaan. Tak ada yang menyangkal, mahasiswa berada dalam kondisi dipertaruhkan.

RUU BHP : Bentuk Komersialisasi Dunia Pendidikan

Hakikat pendidikan sebagai alat untuk mencerdaskan manusia sehingga ia mampu membebaskan dirinya dari segala bentuk penindasan saat ini semakin tak bisa teraih oleh kaum marjinal, yakni mereka yang termiskinkan oleh sistem kapitalisme dengan wajah barunya, Neoliberalisme. Pendidikan hendaknya bisa dinikmati oleh seluruh manusia di muka bumi demikian juga halnya dengan Bangsa Indonesia yang dengan tegas disebutkan dalam Preambule UUD 1945. Akan tetapi di bawah kebijakan neoliberalisme dalam dunia pendidikan, yakni privatisasi pendidikan menjadi hal yang mustahil.

Privatisasi pendidikan bisa ditunjukkan dengan perubahan status perguruan tinggi negeri sejak tahun 1999, bersamaan dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 61/Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum. Dari 4 kampus percobaan (UI, UGM, ITB, dan IPB) kemudian bertambah 8 tahun 2000 yaitu UPI Bandung, Univ. Airlangga (Unair), Univ. Diponegoro (Undip), dan Univ. Sumatra Utara (USU), dan untuk tahun 2007 selanjutnya jumlah perguruan tinggi negeri yang akan berubah status menjadi BHMN semakin bertambah. Intinya, perubahan status itu tak lebih dari penghalusan privatisasi dan kapitalisasi perguruan tinggi negeri. Fakta tersebut jelas menunjukkan ketertundukan pemerintah terhadap komersialisasi pendidikan. Akibatnya, pendidikan semakin mahal dan hanya kelas menengah ke atas yang mampu mengakses pendidikan, apa lagi sampai ke tingkat perguruan tinggi.

Landasan dibentuknya RUU BHP yang kini masih menjadi perdebatan adalah pasal 53 UU Sisdiknas yang mengatakan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan, yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik, berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Dalam pasal tersebut dikatakan pula bahwa ketentuan mengenai badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri yang kini sedang dibahas. Tak jauh beda dengan perubahan status perguruan tinggi negri menjadi BHMN, BHP tak lebih dari bentuk privatisasi yang dipehalus dengan menggunakan prinsip nirlaba dengan dalih untuk membendung komersialisasi atau kapitalisasi pendidikan.

Benarkah demikian? Ternyata fakta justru berbicara lain, pemerintah telah mengeluarkan Perpres no 76 dan 77 yang merupakan turunan dari UU Penanaman Modal Asing. Dalam perpres itu dengan jelas dinyatakan bahwa penanaman modal asing diperbolehkan sampai sebesar 40% bagi sektor pendidikan. Sementara untuk menuju universitas yang berstatus BHP, universitas harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
1. Mahasiswa
2. Matakuliah
3. Manajemen
4. Sumber daya manusia
5. Keuangan
6. Perolehan pendapatan
7. Administrasi yang profesional, menurut HELTS 2003-2010

Dari tujuh butir persayaratan di atas jelas belum bisa dipenuhi oleh universitas-universitas di Indonesia, bahkan universitas sebesar UI atau UGM sekalipun masih menjadikan mahasiswa sebagai donatur bagi pendapatan universitas. IPB yang mempunyai daya tampung mahasiswa baru sebesar 2300 kursi ternyata hanya dapat meluluskan 300 mahasiswa baru yang murni nilai SPMB, sisanya dilelang kepada instansi-instansi swasta atau pemerintah yang mampu membeli harga bangku kuliah yang cukup mahal (kantor berita Antara, red).

Dengan demikian, jelas ketika semua universitas telah berubah status menjadi BHP maka yang menjadi sasaran empuk guna membiayai berbagai fasilitas pendidikan adalah mahasiswa. Tidak ada jalan lain bagi semua instansi pendidikan untuk menaikkan biaya pendidikan sehingga masyarakat menengah ke bawah tidak lagi sanggup mengakses pendidikan. Sedangkan menurut seorang pengamat pendidikan dari UGM, Darmaningtyas, berpendapat bahwa konsideran-kkonsideran dalam RUU BHP telah mengalami revisi sebanyak 32 kali dan selalu tidak jelas mengenai apa saja yang akan diatur apakah sistem pendidikan, manajeman pendidikan atau partisipasi masyarakat. Sementara, Dirjen Dikti Fasli Djalal pun menyatakan bahwa jika terjadi ketakutan pada kalangan akademika tentang manajeman perusahaan yang diterapkan pada lembaga pendidikan hanya dapat menjawab, “pada saatnya nanti akan muncul stakeholders berupa orang-orang yang amanah, tidak punya kepentingan pribadi, tidak makan gaji dari sana sehingga membawa hati nurani dan lebih responsif terhadap kondisi dan kebutuhan masyarakat.” (Republika, 2008).

Pertanyaan selanjutnya, apa yang menjamin bahwa akan muncul stakeholder yang mempunyai amanah, tidak makan gaji dari sana serta responsive terhadap kebutuhan masyarakat? TIDAK ADA! Hanya ada satu kesimpulan, negara saat ini tengah melepas tanggung jawabnya untuk menyediakan pendidikan yang layak bagi warganya, sehingga tidak ada jalan lain bagi seluruh rakyat Indonesia baik dari mahasiswa, buruh, kaum miskin kota beserta elemen massa rakyat lainnya untuk menyatukan diri menuntut pendidikan gratis, menolak BHP, mencabut UU Sisdiknas, serta kebijakan lainnya yang berpihak pada kepentingan modal.

Bukan suatu hal yang mustahil untuk mewujudkan pendidikan gratis. Guna membiayai pendidikan gratis, sebenarnya negeri ini mampu. Indonesia mempunyai sumber daya alam yang luar biasa yang sebenarnya bisa diolah guna membiayai kesejahteraan rakyat termasuk pendidikan gratis. LIhat saja pendapatan dari berbagai pertambangan asing di Indonesia seperti ExxonMobil pada tahun 2007 berdasarkan laporannya, yang mencapai angka $ 40,6 billion atau Rp3.723 triliun serta Cevron di tahun 2007 yang mampu memperoleh keuntungan sampai $ 18,7 billion atau Rp 171 triliun. Demikian pula dengan 137 pertambangan asing lainnya di Indonesia yang juga mengeruk keuntungan di negeri berlahan subur ini. Bandingkan dengan keuntungan pemerintah dari hasil tambang yang telah dijual ke asing, tidak pernah menembus angka 3%. Sungguh hal yang ironis, pertambangan tersebut yang semestinya diperuntukkan bagi rakyat telah dijual ke tangan imperialis.

Semestinya, rakyat di negeri ini mampu memperoleh haknya guna menikmati pendidikan gratis serta kesejahteraannya. Intinya, merupakan hal yang seharusnyalah negara ini mengambil alih aset pertambangan asing guna kesejahteraan rakyat. Selain mengambil alih aset pertambangan asing, pembiayaan pendidikan gratis juga bisa diperoleh dari penghapusan utang luar negeri. Tercatat, utang luar negri Indonesia sampai dengan tri wulan ke dua tahun 2007, utang luar negeri Indonesia telah mencapai 132,719 juta dolar AS (Summary base line Studies, Koalisi Anti Utang kerja sama dengan PUSTEK UGM). Utang luar negari tersebut, pada hakikatnya tidak mampu menyejahterakan rakyat dan hanya dinikmati segelintir orang saja, serta justru membebani APBN sehingga harus dihapuskan untuk kesejahteraan rakyat.

Pembiayaan terhadap pendidikan gratis tersebut tentu harus diraih dengan perjuangan rakyat sendiri degan persatuan multisektoral sebab persoalan pendidikan merupakan persoalan seluruh rakyat, bukan persoalan mahasiswa semata. Sudah bukan saatnya lagi menyandarkan diri pada pemerintah atau elit politik yang ada sebab 10 tahun pasca reformasi sudah cukup membuktikan bahwa elit politik saat ini adalah agen imperialis yang tentunya menjadi musuh bersama kita.

Patriotisme Buta

“ Jangan pernah bertanya, apa yang bisa diberikan negara untuk kita, tapi sebaliknya, apa yang bisa kita perbuat untuk negara “

Sebuah doktrin patriotisme paling populer yang dilontarkan oleh John F. Kennedy yang kemudian menjadi sebuah pembenaran bahwa negara adalah segala-galanya dan segala macam kebusukan didalamnya adalah lumrah dalam tiap-tiap negara.

Leo Tolstoy, seorang sastrawan anarkis Rusia, mengartikan patriotisme sebagai sebua prinsip yang membenarkan pelatihan membunuh, suatu usaha yang memerlukan peralatan (senjata) yang lebih canggih untuk membantai sesama daripada untuk memproduksi kebutuhan manusia, seperti pakaian, rumah dan sekolah, atau dia hanyalah usaha yang dapat membawa ‘kebesaran’ dan ‘kesuksesan’, lebih dari usaha-usaha lain seperti kesejahteraan rakyat.

Banyak hal yang bisa dihasilkan oleh patriotisme. Rasisme, fasisme, xenophobia (kebencian atau kecurigaan terhadapa hal-hal yang dianggap asing), primordialisme (mengunggulkan sifat kedaerahan lebih dari yang lain), chauvinisme dan masih banyak lagi. Kecintaan terhadap negara secara membabi buta hanyalah usaha untuk mengalihkan perhatian kita agar kita lupa bahwa masih banyak hak-hak hidup sejahtera dan merdeka yag harus direbut kembali. Manusia juga berhak untuk hidup setara tanpa keterbatasan, tanpa harus dipagari oleh kekonyolan daerah kekuasaan, tanpa harus merasa terasing dengan keawaman dan bebas bergerak diatas bumi yang seharusnya dapat dimiliki dan dimanfaatkan secara adil bersama-sama.

Tapi kenyataan yang ada sekarang adalah setiap bagian dari dunia yang terpecah-pecah ini, dimonopoli oleh sekelompok kecil manusia yang memaksakan kehendaknya sendiri untuk mengatur, menguasai dan memanfaatkan sumber daya alam dengan mengeluarkan aturan bahwa tanah, air dan udara adalah milik negara. Dan setiap orang yang dianggap menguntungkan birokrasi pasti akan mendapatkan lebih dari yang lain.

Jika dengan alasan itu kita diwajibkan untuk meyakini patriotisme, maka sama juga kita memberikan hak kita untuk dieksploitasi. Coba kita berpikir secara logika seperti sepleton pasukan yang di setiap saat harus siap untuk membela kepentingan negara, berangkat ke medan pertempuran dan siap untuk membunuh sesama manusia, padahal di benak mereka sebenarnya yang mereka inginkan adalah sebuah perdamaian.

Memang segala dampak buruk patriotisme terhadap masyarakat sipil terasa tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan penghinaan dan luka yang dirasakan oleh mereka yang bekerja di kemiliteran. Mereka adalah korban yang dijadikan pembela dan penjaga negara, lantas apa yang bisa diberikan petriotisme kepada seorang prajurit? Tahayul kepahlawanankah? Prajurit rendahan sama saja dengan budak. Di mata negara, mereka adalah tumbal yang harus mengorbankan nyawanya. Sehari-harinya mereka harus tunduk kepada pangkat yang lebih tinggi. Kebebasan mereka penuh dengan kebiasaan buruk, bahaya dan kematian. Bahkan menurut seorang jendral, tugas serdadu adalah kesetiaan yang tidak dapat dipertanyakan kepada atasan atau pemerintah, meskipun dia tidak setuju dengan pemerintahannya. Inilah sebuah perkembangan yang aneh, patriotisme telah membuat seorang makhluk yang berpikir menjadi seekor binatang peliharaan.

Disini kita tidak pernah merasakan wajib militer. Kita tidak pernah dipaksa untuk menjadi tentara, tapi keadaan ekonomi yang memaksa calon tentara untuk masuk militer, selain imajinasi kepahlawanan yang tertanam lewat doktrin patriotisme. Karir dalam militer tidak saja menarik dan disegani, tapi juga lebih baik daripada susah-susah cari kerja, tidak bisa makan atau tidur di tempat-tempat yang umum. Karir tersebut setidaknya menghasilkan gaji meski pas-pasan, dapat jatah makan tiga kali sehari dan tersedia tempat untuk tidur. Tapi bagi mereka yang tak ingin harga dirinya terinjak-injak, kebutuhan ekonomi bukan alasan untuk masuk militer. Masih banyak orang-orang yang memiliki sifat mandiri, cinta kebebasan dan berani menanggung resiko tanpa harus mengenakan seragam.

Paham-paham fasis pun dicoba untuk diterapkan dalam pendidikan formal, seperti menentukan cara berpakaian dan berpenampilan yang menurut mereka adalah mencerminkan sifat-sifat patriot, narkoba yang merusak patriotisme atau apalah… Semua dihubung-hubungkan dengan patriotisme. Anak-anak diajarkan taktik militer, perjuangan tentara diagung-agungkan dalam pelajaran sekolah kemudian pikiran anak-anak dibentuk dan disesuaikan dengan tujuan negara. Sungguh bukan kesalahan jika kita menjadi bodoh. Tapi bagaimana sikap kita sekarang untuk memperbaiki kesalahan itu dan bagaimana kita bisa menyadari bahwa yang terpenting untuk hidup dalam sebuah negara adalah tetap mengembangkan pikiran rasional menolak pembodohan-pembodohan yang terus menyerang kita agar kita tetap bisa ditindas dan dikonsumsi oleh pemerintahan, kapitalisme dan kawan-kawannya.

Jika kita dapat mengabaikan patriotisme ini, jika kita telah menyadari bahwa sebuah solidaritas internasional akan lebih berharga dan lebih dibutuhkan daripada paham sempit ini maka kita telah membuka jalan menuju masyarakat yang bebas, otonom dan tanpa penindasan dimana semua nasionalitas berada dibawah naungan persaudaraan universal.

8/11/2008

Alegori Masyarakat Komunis Dalam Komik Smurf

Makhluk biru mungil itu menempati rumahnya yang berbentuk seperti jamur. Mereka hidup bersama di sebuah desa antah-berantah pedalaman hutan Eropa. Mereka hidup rukun dan masing-masing menjalankan fungsinya dengan baik dalam masyarakat. Mereka punya bahasa sendiri yang mengganti kata kerja dan kata sifat dengan identitas bangsa mereka… Smurf!

Komik Belgia karangan Pierre Culliford, populer dengan nama pena Peyo, ini sempat populer di Indonesia pada tahun 1980-an, bahkan pada saat itu sebuah stasiun televisi swasta sempat menayangkan film kartunnya selama beberapa waktu dan sebuah jaringan restoran multinasional mengadopsi mainan figurnya sebagai hadiah menu khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak.

Puluhan tahun sesudah masa kejayaan Smurf di Indonesia berlalu, anak-anak yang dulu mengkonsumsi kisah di Desa Smurf itu beranjak dewasa dan melihat kebobrokan bangsa ini. Tidak seperti generasi sebelumnya yang terhegemoni politik scapegoating Orde Baru, mereka justru jauh lebih akseptif terhadap wacana-wacana gerakan berideologi kiri. Sebagai antitesa atas kegagalan ideologi yang dianut pemerintah despotik, sosok Karl Marx dan Che Guevara hadir bagai pahlawan di tengah mereka.

Bisa jadi, penerimaan kaum muda terhadap ideologi kiri tersebut terjadi karena sejak kecil mereka sudah mendapat gambaran ideal mengenai pola kehidupan masyarakat sosialis melalui komik Smurf.

Komunalisme Desa Smurf

Kehidupan di Desa Smurf telah menggambarkan dengan sempurna praktek sosialisme utopis yang ada di dalam kepala Marx, dengan menggambarkan sebuah komune yang dikelola secara kolektif di bawah pimpinan sang revolusioner tunggal bernama Papa Smurf.

Di desa itu semua Smurf bekerja sesuai profesi pilihannya dengan suka cita dan hak yang sama tanpa harus mengenal sistem mata uang --benar-benar sebuah kondisi yang ideal bagi kaum komunis.

Secara ekonomis, Desa Smurf seperti sebuah pasar yang tertutup, tidak mengenal mata uang, dan semua menjadi milik bersama --properti publik. Setiap Smurf adalah pekerja sekaligus pemilik. Para Smurf menolak ide pasar bebas, karena keserakahan dan ketidakadilannya, dan kepentingan kolektif lebih penting dan lebih berharga daripada kepentingan individual.

Ancaman Kontra Revolusi

Seperti layaknya negara komunis di dunia ini, Desa Smurf pun tidak lepas dari bayang-bayang masalah. Di bagian hutan yang lain hidup Gargamel, seorang perjaka tua jahat yang hidup bersama kucingnya yang setia, Azrael. Gargamel dengan kemampuan sihirnya ingin melebur para Smurf yang dipercayainya sebagai bahan baku untuk membuat emas. Sementara Azrael hanya semata ingin merasakan kenikmatan daging para Smurf.

Dalam hal ini Gargamel dapat digambarkan sebagai negara-negara kapitalis yang melihat segalanya sebagai potensi komodifikasi. Kebetulan pula, sejarah menunjukkan emas adalah salah satu komoditas yang menjadi daya tarik penjelajahan kaum imperialis. Semua yang buruk tentang kapitalisme ada pada dirinya. Ia rakus, kejam, dan hanya mempedulikan kepuasan dirinya sendiri. Dia adalah contoh manusia yang lebih mengutamakan kepentingan individual di atas kepentingan masyarakat yang dihidupinya. Bukan kebetulan juga kalau ternyata ia adalah seorang perjaka tua yang tinggal dalam kastil di tengah hutan dengan hanya ditemani seekor kucing.

Secara metafor, ia ingin menghabisi sosialisme, sama seperti yang dilakukan negara barat terhadap Sovyet dan negara-negara satelitnya selama perang dingin. Kemudian sebagai seorang kapitalis sejati, ia berharap bisa menjadikan segalanya sebagai komoditas --termasuk makhluk hidup lain. Bahkan rencana kedua yang akan dilakukan Gargamel terhadap para Smurf adalah ia ingin mengubah mereka menjadi bongkahan emas secepatnya setelah ia berhasil menangkapnya. Sebagai seorang kapitalis, ia lebih mempedulikan kesejahteraan dirinya sendiri daripada kesetaraan dan keadilan. Sudah menjadi sifat alaminya untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak mungkin.

Kucing peliharaan Gargamel, Azrael, mewakili serikat pekerja mandul di negara-negara yang menganut sistem pasar bebas. Ia tidak pernah mengeluh karena memang ia tidak punya suara. Ia tidak bisa menegoisasikan gajinya --ia makan apa saja yang disuguhkan majikannya. Dan karena tubuhnya berukuran lebih kecil dan tidak lebih kuat dari Gargamel, maka ia juga mewakili kaum proletar, sementara Gargamel mewakili kaum borjuis. Azrael dieksploitasi dan ditindas. Ia mempertaruhkan nyawanya untuk melakukan pekerjaan berbahaya yang tidak bisa dilakukan majikannya dan tidak memiliki kapasitas intelektual untuk mempertanyakan masalah ini, sama seperti para pekerja yang menderita nasib buruk yang sama selama berabad-abad karena kurangnya pendidikan yang didapatkannya, dan ia tidak punya pilihan lain selain menghamba pada majikannya.

Konflik Internal

Nampak usaha untuk menunjukkan betapa idealnya kehidupan kolektif di bawah satu pimpinan ini digambarkan dengan jelas dalam salah satu serinya yang berjudul Smurfuhrer, dimana konflik khas Marxian klasik antara pemerintah yang jahat dan menindas --dimana pemimpin (dan kapitalis) yang rakus mengeksploitasi masyarakat untuk kepentingannya sendiri; dipertentangkan dengan politik egalitarian ideal yang telah di formulasikan oleh Marx-- kesemuanya digambarkan dengan baik.

Di situ diceritakan Papa Smurf harus menempuh perjalanan panjang untuk mencari bahan ramuan ajaibnya. Sepeninggal Papa Smurf, para Smurf yang lain mengadakan pemilihan untuk memilih pengganti Papa Smurf, lalu terpilihlah satu Smurf sebagai pemimpin. Tapi ternyata ia menjadi otoriter dan menimbulkan gelombang pemberontakan dari para Smurf yang lain untuk menggulingkan kekuasaannya.

Hasilnya? Desa Smurf itu pun jadi rusak akibat insureksi yang di jalankan milisi pemberontak itu, dan desa yang utopis itu baru pulih kembali setelah Papa Smurf pulang di saat pertarungan sengit antara para Smurf sedang terjadi. Dalam hal ini, Papa Smurf, sebagaimana juga dengan Marx, telah mewakili bentuk Marxisme yang ideal dengan menampilkan gambaran ketergantungan masyarakat yang butuh sosok pahlawan pelopor (avant garde) revolusioner yang bisa dijadikan panutan dan pemimpin yang maha hebat.

Representasi Penokohan

Secara visual pun ditemukan kemiripan antara karakter penghuni Desa Smurf dengan tokoh ideologis mazhab kiri di dunia nyata. Figur pemimpin desa, Papa Smurf, dengan jenggotnya yang lebat akan dengan mudah mengingatkan pada sosok Karl Marx. Jangan lupa pula, Papa Smurf adalah satu-satunya penghuni Desa Smurf yang menggunakan pakaian bewarna merah –warna tradisional kaum sosialis.

Satu lagi karakter dalam Desa Smurf yang memiliki kemiripan tersebut adalah Smurf Kacamata. Kacamata bulat yang dikenakannya mengingatkan pada sosok Leon Trotsky, salah seorang pentolan partai Bolshevyk yang terjegal setelah Stalin mengambil alih tampuk kekuasaan. Dalam kisahnya digambarkan Smurf Kacamata sebagai seekor Smurf dengan kecerdasan yang hampir menyamai Papa Smurf. Namun sikapnya yang sok tau dan sombong membuatnya sering jadi bulan-bulanan dan bahan cemoohan para penghuni Desa Smurf lain, sama seperti nasib Trotsky yang kemudian mati terbunuh dengan alat pemecah es dalam pengasingannya di Meksiko.

S.M.U.R.F?

Menurut pencipta aslinya komik ini berjudul Les Schtroumpfs yang berasal dari bahasa Prancis. Namun kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa sebagai Smurf. Apa arti kata “Smurf” itu? Para fans, mungkin sebagian di antaranya adalah penganut teori konspirasi, mempunyai dua dugaan. Satu, nama S.M.U.R.F. adalah kependekan dari Socialist Men Under Red Father. Dua, kepanjangan dari nama S.M.U.R.F. adalah Sovyet Militants Under Red Faction.

Medium adalah Pesan

Sekurang-kurangnya, Peyo berhasil menggambarkan teori Marxisme dalam bentuk kisah dongeng yang alegoris. Jauh dari gagal, komik Smurf pada akhirnya telah berhasil menyebarkan pesan dengan baik, dengan bias kehidupan nyata yang kita alami, jauh lebih baik daripada yang pernah literatur fantasi lainnya coba lakukan. Boleh saja sebagian besar ide dalam komik ini terinspirasi ideal Marxisme utopis, karena, walaupun ia tidak menggambarkan dunia secara nyata juga apa adanya dengan segala kompleksitasnya, kita masih bisa membayangkannya.

Sekarang mungkin kita bisa tahu kenapa kaum muda bisa lebih menerima gagasan utopis dari generasi sebelumnya.

Pengkhianatan Matahari Pagi (Disharmony Of Humanity)

Pernahkah kita belajar pada...

Eksistensi yang mencoba mengabaikan nurani
Kolaborasi duniawi yang selalu menghakimi massa
Arogansi yang tak pernah jera untuk menjajah cinta
Dan siluet insan gadungan yang membunuh sayang

Sanggupkah kita takkan lupa untuk menuntut pada...

Angkara yang memadamkan nyala api kedamaian
Munafik yang mengotori kesucian sperma
Fatamorgana yang menenggelamkan panorama
Dan teatrikal yang mengangkangi firman sangkakala

Ataukah kita hanya sekedar berhenti berharap pada...
Untaian kalam hati yang terdiam bisu menangisi parodi basi
Dan ratapan sunyi yang merengek tiada pasti

Apakah salah jika nurani menuntut ?
Apakah dosa jika ia menari menantang barisan belati ?
Padahal nurani itu rasa dan rasa adalah anugerah
Yang selayaknya disajikan untuk sesama

Karena itu cobalah sejenak untuk menikmati...

" Oh betapa agungnya dunia kita
Di hadapan barisan nisan yang dikomando matahari pagi
Rancangan realita yang serupa alam mimpi
Berjajar rapi dalam etalase tirani mendekonstruksi ambisi
Menghabisi semua nyawa untuk selembar kontrak asuransi
Dengan janji surga yang diakumulasi oleh pahala bertubi-tubi
Serupa berhala konstitusi yang saling berebut jatah kursi
Membuat kebebasan hanya berkibar dibalik layar kaca televisi
Dan monumen cinta hanya akan berdiri setelah diimingi sederetan nafsu konsumsi
Hingga puncak kesabaran, tingkat keimanan dan barikade impian
Menanti ajal untuk hancur berantakan ! "

Cukup sudah !
Buyarkan lamunan sejenak untuk menabur semangat...

Sekarang cobalah untuk pasrah
Dan biarkan tubuhmu ditelanjangi oleh angkuhnya bayangan malam
Jangan beri kesempatan pada gairah bulan dan bintang
Karena mereka hanyalah biduan yang bersinar diantara kelam
Jangan berharap angin berhenti berdansa
Sebelum ia menjumpaimu untuk meniupkan asa
Karena air susu tidak akan dibalas dengan air tuba
Tapi dengan harapan yang akan terbakar
Melahirkan reinkarnasi rasa untuk mengebiri naluri

Dan karena matahari terlalu pagi untuk mengkhianati
Maka jangan izinkan dirimu untuk mati terlalu dini...

(Malang, 1 Agt '08)

Hymne Pembakar Nalar

" Wahai kalian polisi-polisi moral yang mengatasnamakan Tuhan
Hipokrit sejati yang memupuk kebodohan
Merasa lebih suci dan paling benar
Membakukan persepsi menghalalkan kekerasan
Ingatlah bahwa dunia ini tidak berada di balik telapak tangan kalian...! "

Konspirasi para gerombolan institusi di balik argumen basi
Yang membeli takdir dan memperlakukan hidup seperti tahanan
Seakan sang kematian hanya dihargai oleh lembaran royalti
Merancang alam bawah sadar dengan ancaman golok dan senapan
Bersembunyi dibalik mitos yang kalian agungkan
Membawa kebenaran layaknya Nabi dengan aroma kesucian
Jika yang kalian inginkan adalah konflik atas nama kebanggaan
Jika kalian pikir ide kami dapat kalian berangus dan penjarakan
Maka tunggulah teriakan kami akan menembus kerongkongan kalian !

Lakukan apapun termasuk menjadi Tuhan
Kami akan berdiri di sini, tak sendiri, hingga nafas penghabisan
Dan sebelum rima pemberontakan tercatat di pajangan nisan kalian
Maka berhentilah mengancam kebebasan kami !

Kalian serupa chauvinis Israel yang menodai mimpi bocah Palestina
Dengan serombongan fundamentalis super-arogansi tanpa dialektika
Labelisasi yang membatasi surga dan neraka
Hitam-putih dunia yang kalian ratakan dengan parang dan dakwah
Genangan darah, amarah dan sumpah serapah
Membela rezim dengan komando barbar
Bicara tentang aturan, nilai dan moral
Nyatanya kalian cuma omong kosong besar !

Karena dunia tidak lagi berakal dan nalar seakan menjadi gombal
Maka bagi para pelaknat rasional yang mendambakan tumbal
Bersiaplah kalian menuai badai di hari akhir menjelang ajal
Karena hari ini, esok atau nanti
Kami pasti akan berdiri dengan tangan terkepal !

(Gresik, 3 Agt '07)

7/27/2008

Atheis

Cerpen M. Dawam Rahardjo
Dimuat di Media Indonesia 09/02/2007

KAKAK kami Suparman kini tinggal di Jakarta menjelang masa pensiun. Tapi ia tidak terikat. Karena ia mengelola sebuah perusahaan konsultan sendiri, dengan karyawan sekitar 50 orang. Ia adalah seorang arsitek lulusan ITB. Setelah lulus, ia melamar sebagai arsitek di sebuah perusahaan. Setelah mendapatkan pengalaman, ia mendirikan perusahaan sendiri bersama beberapa orang kawannya. Usahanya ini boleh dikatakan maju, berkat kegiatan pembangunan di Ibu Kota.

Kakak kami itu ialah saudara tertua dalam keluarga kami yang tinggal di sebuah desa bernama Jatiwarno di Wonogiri. Sekitar 30 kilometer dari Kota Solo. Daerah tempat tinggal kami itu dikenal kering. Dulu sering kali menjadi berita di koran karena kelaparan. Di zaman kolonial pernah terjadi busung lapar. Kini Wonogiri tidak lagi kering seperti dulu karena di situ dibangun waduk Gajah Mungkur. Sekarang sudah ada ladang-ladang ubi kayu dan jagung selain sawah padi. Waduk ini juga menjadi pusat pariwisata yang dikunjungi terutama oleh orang-orang Solo. Keluarga kami, keluarga Parto Sentono lebih populer dipanggil Kiai Parto adalah sebuah keluarga yang religius. Ayah kami itu adalah seorang petani yang juga berperan sebagai ulama lokal karena ia adalah santri lulusan Mamba'ul Ulum dan tinggal di pesantren Jamsaren. Jadi ia pernah berguru kepada KH Abu Amar, Ulama Solo yang masyhur itu. Itulah sebabnya Kiai Parto mengirim kami, anak-anaknya, ke pesantren sebagai lembaga pendidikan.

Mas Parman sebagai anak tertua dikirim ke Gontor Ponorogo yang jaraknya tidak jauh dari desa kami. Kakak saya yang kedua Muhammad Ikhsan dipondokkan ke Pesantren Pabelan di bawah pimpinan Kiai Haji Hamam Ja'far. Saya sendiri sebagai anak ketiga cukup bersekolah di Madrasah Al-Islam, Honggowongso, Solo. Jadi saya punya dua orang adik. Yang pertama, dikirim ke Tebu Ireng, sedangkan adik saya yang paling bontot disuruh belajar ke madrasah Mu'alimat Muhammadiyah, Yogyakarta.

Walaupun semuanya berlatar belakang pendidikan pesantren, kami semua mempunyai profesi yang berbeda-beda, misalnya Mas Parman menjadi seorang arsitek, sedangkan saya sendiri menjadi petani jagung dan ubi kayu meneruskan pekerjaan bapak. Karena itulah, saya adalah anak yang paling dekat dengan keluarga dan menyelenggarakan pertemuan halalbihalal setiap tahun dengan keluarga.

Bapak merasa sangat bangga anaknya bisa masuk ke pondok modern Gontor. Mas Parman sendiri juga merasa mantap berguru dengan Kiai Zarkasi dan Kiai Sahal. Di masa sekolah dasar, kami semua dididik langsung oleh bapak kami. Mas Parman ternyata berhasil menjadi seorang santri yang cerdas. Bapak sangat berharap kelak Mas Parman menjadi seorang ulama modern. Bapak memang tidak mengikuti perkembangan anaknya itu sehingga ia merasa terkejut ketika pada suatu hari ia berkunjung ke Gontor, anaknya itu ternyata sudah tidak lagi bersekolah di situ. Namun sebentar kemudian, ia mendengar di mana anaknya berada. Ternyata Mas Parman yang pandai matematika itu ikut ujian SMP negeri dan lulus dengan nilai yang sangat baik. Ia kemudian melamar untuk bersekolah di Solo dan diterima di SMA 2 atau SMA B yang terletak di Banjar Sari. Sekolahnya itu berdekatan dengan SMA 1 jurusan sastra budaya. Sehingga ia banyak bergaul dengan pelajar-pelajar sastra. Walaupun belajar ilmu eksakta, Mas Parman ternyata punya bakat seni. Ia bisa melukis dan membuat puisi. Ia ikut di klub sastra remaja yaitu sastra remaja Harian Nasional di Yogya. Bapak tidak bertanya banyak kepada anak sulungnya itu. Walaupun ia merasa sangat kecewa dan agak marah karena Mas Parman telah mengambil keputusan besar tanpa berkonsultasi dengan Bapak dulu. Saya mewakili keluarga menanyakan perihal keputusannya itu kepada Mas Parman. "Mas, kenapa tidak minta izin bapak dulu ketika Mas keluar dari Gontor?," tanyaku pada suatu hari.

"Kalau aku bilang dulu pada bapak, pasti tidak dikasih izin," jawabnya.

"Kenapa pula Mas berani mengambil keputusan besar itu?" tanyaku lagi. "Aku ternyata tidak betah tinggal di pondok. Aku merasa pesantren ini adalah sebuah masyarakat buatan. Kami hidup menyendiri, dilarang bergaul dengan penduduk desa. Kami di pondok menganggap diri sebagai keluarga ndoro," jawabnya lagi.

"Itu kan karena kepentingan para santri sendiri supaya tidak terkontaminasi oleh pengaruh luar," jelas saya.

"Tapi hidup kan menjadi artifisial, santri hanya diajar sesuatu yang baik tapi tidak mengetahui dunia nyata yang tidak terlalu bersih. Malah banyak kotornya."

"Kalau hanya itu alasannya, mengapa Mas tetap mengambil keputusan?" tanya saya.

"Terus terang saja, aku sendiri jenuh dan bosan hidup di pondok. Aku memahami jika sebagian santri melakukan homo bahkan mencuri-curi bergaul dengan perempuan di luar pondok."

"Nah, itulah akibatnya kalau para santri tidak disiplin."

"Pokoknya aku bosan, yang lebih mendasar lagi aku tidak bisa menerima pelajaran-pelajaran agama. Kupikir pendidikan semacam itu tidak berguna, karena tidak membekali santri untuk bisa hidup dalam realitas yang sering keras itu di luar dunia pesantren. Jadi apa gunanya aku bersusah payah mencapai kelulusan. Itulah maka aku mengambil keputusan untuk pindah sekolah."

"Mas Ikhsan ternyata senang nyantri di Pabelan," ujar saya.

"O... Pabelan itu beda dengan Gontor, Kiainya juga alumni Gontor, tapi ia bisa berbeda dengan Gontor. Santri Pabelan bebas bergaul bahkan diharuskan. Kiai Hamam bisa menerima saran dari LP3ES untuk menyelenggarakan program lingkungan hidup. Pesantren bahkan menyediakan air bersih yang diolah dari kali Pabelan untuk penduduk desa. Kiai Hamam juga membuat pemandian umum desa. Sehingga santri-santrinya bisa bergaul dengan penduduk desa setiap pagi sore sambil mandi bersama."

Mas Parman kemudian melanjutkan perubahan di dalam hidupnya. "Har, aku ingin memberitahukan padamu, perubahan pola hidupku di Solo. Aku sekarang sudah tidak menjalankan salat, juga puasa Ramadan," katanya jujur.

"Mas, apakah ini tidak terlalu jauh? Ibu bapak pasti akan marah besar sama Mas," jawab saya.

"Ya jangan dilaporkan ke ibu bapak, tapi ceritakan saja apa adanya kepada Mas Ikhsan, barangkali ia bisa menerima dengan kepala dingin." Saya kemudian berpisah dengan Mas Parman dan melaksanakan wasiatnya. Tidak henti-hentinya saya berpikir dan merenung, sehingga memberatkan pikiran saya. Sebagai adik kandung, saya menyayangkan keputusan dan langkah radikal Mas Parman. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa sehingga hanya bisa menerima dengan sedih yang menjadi unek-unek terus-menerus. Sebab, saya pun juga ingin jawaban terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan keputusan kakak saya itu. Saya khawatir sikapnya itu akan memengaruhi kakak dan adikku yang lainnya sehingga unek-unek itu saya sampaikan kepada Mas Ikhsan. Ia juga tampak terkejut tapi hanya terdiam saja tanpa reaksi. Karena itu aku minta kepada Mas Ikhsan untuk bertemu sendiri dengan Mas Parman.

Akhirnya, pada suatu hari, Mas Ikhsan menyempatkan diri untuk bertemu langsung dengan Mas Parman di Solo. Ia tinggal di daerah Manahan. Berikut ini adalah laporan Mas Ikhsan kepadaku dari hasil pertemuannya dengan Mas Parman. "Aku diajak Mas Parman pada suatu malam di suatu warung hik yang masyhur dengan jualan wedang ronde dan makanan tradisional Surakarta. Mas Parman memang romantis. Dia tidak ragu mengajakku menikmati suasana Solo di waktu malam yang dirasakan rakyat jelata. Terkesan olehku bahwa ia memang merakyat hidupnya. Karena setiap kali kami berbincang-bincang, selalu saja ada orang yang menyapa. Ada juga para pengemis dan gelandangan. Di warung hik itulah aku mencoba secara tenang menanyakan banyak hal kepada Mas Parman.

"Mas, aku sudah mendengar semua cerita mengenai dirimu dari adik kita, Haryono, terus terang saja aku terkejut. Timbul seribu satu pertanyaan dalam pikiranku, aku masih seorang santri yang baik dan terus bercita-cita menjadi ulama pemikir modern. Sebagai adik, aku tidak bisa memahami sikapmu. Bahkan aku tidak percaya dengan cerita Haryono, aku juga sudah tanya kepada Haryono bagaimana pandangannya. Tapi ia tidak banyak memberi penjelasan sehingga aku harus langsung bertemu denganmu. Mohon jangan tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan dan komentarku. Aku bahkan ingin belajar kepada Mas, yang memiliki sebuah pengalaman dramatis."

"O... boleh saja, jadi aku sekarang sudah tidak menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim."

"Kalau begitu, Mas telah murtad?" tanyaku.

"Ya, sebelum hukuman murtad dijatuhkan kepadaku, aku lebih baik keluar saja dulu dari Islam. Sekarang siapa pun juga tidak berhak menghakimiku."

"O... begitu, aku pun tidak akan menghakimimu. Cuma aku ingin bertanya apakah Mas telah meninggalkan seluruh akidah Islam?" tanyaku ingin tahu.

"Ya, aku sekarang seorang atheis, aku sudah tidak percaya kepada Tuhan."

"Lalu status Mas sekarang sebagai apa?" tanyaku.

"Aku sudah menjadi humanis. Aku bercita-cita ingin menjadi pemikir bebas."

"Untuk menjadi orang seperti itu kan tidak perlu meninggalkan akidah. Islam memberi kebebasan."

"Ya aku tahu, aku hanya ingin mengatakan bahwa selama di Gontor aku tidak pernah memperoleh penjelasan yang memuaskan mengenai Tuhan. Dan mengapa orang harus percaya kepada Tuhan. Aku ingin bebas dari belenggu akal dan aku harus bisa mendasarkan perilakuku berdasarkan rasionalitas. Tidak dibelenggu iman dan syariat. Sekarang ini aku merasakan diriku menjadi orang bebas, tanpa belenggu. Ketika menjadi orang Islam aku merasa terjatuh ke dalam belenggu. Sekarang ini aku merasa mengalami pencerahan."

"Mas kan tahu bahwa Islam itu mengajarkan perbuatan baik berdasarkan iman. Jadi manusia memerlukan Tuhan untuk bisa berbuat baik."

"Inilah yang saya tidak setujui dalam Islam. Seperti kamu tahu sendiri, perbuatan baik itu tidak diakui Tuhan jika tidak didasarkan kepada iman. Mengapa harus begitu. Buddha Gautama mengajarkan perbuatan-perbuatan baik tanpa mensyaratkan iman kepada-Nya. Demikian pula Konghucu. Aku suka dengan dua agama yang kita sebut sebagai agama bumi itu. Aku ingin menjadi orang baik tanpa iman. Kalau mendengar keteranganmu itu terkesan olehku bahwa Tuhan itu adalah ciptaan manusia sendiri, bukannya sebaliknya."

"Astaghfirullahal'adzim."

"Dalam kenyataannya, agama itu hanyalah candu yang membius dan membuat lupa terhadap kesengsaraan dan penindasan yang menimpa mereka."

"Berlindung aku dari bisikan semacam itu."

"Sorry ya, jangan anggap aku sesat. Semuanya itu sudah kupikirkan dan kurenungkan dalam-dalam. Pokoknya aku ingin bebas menjadi humanis."

"Tapi aku yakin bahwa Islam akan membawaku ke sana, tapi sampean punya pendapat yang lain dan aku ingin belajar darimu sebagai seorang kakak tertua."

"Kamu tidak perlu jawaban verbal dariku. Lihat saja perbuatanku. Bukankah agamamu mengajarkan bahwa Tuhan itu akan bisa ditemui dengan perbuatan baik di dunia ini."

"Kalau gitu, Mas masih percaya kepada Tuhan."

"Tidak! Aku tidak bisa percaya pada adanya Tuhan. Aku hanya ingin berbuat baik kepada sesama manusia berdasarkan alasan-alasan yang rasional saja."

"Wah, menurutku manusia yang percaya kepada Tuhan itu tentu akan terdorong untuk berbuat baik, karena itu apa salahnya kita percaya akan adanya Tuhan."

"Ya terserah. Cuma saya tidak mau percaya kepada Tuhan yang diciptakan manusia. Tuhan begini, sama saja dengan dewa-dewa Hindu maupun Yunani."

Begitulah Mas Ikhsan menceritakan kembali dialognya. "Lalu bagaimana tanggapan dan sikapmu?"

"Lakumdinukum waliyadin, biar dia percaya apa yang ia percayai dan kita percaya apa yang kita percayai."

"Lalu bagaimana pandanganmu mengenai kakak kita itu?"

"Aku tidak menganggap dia orang sesat. Ia hanya memilih suatu jalan hidup. Dalam hatiku, aku percaya bahwa Mas Suparman itu sebetulnya percaya kepada Tuhan. Cuma dia tidak mau merumuskan apa Tuhan itu. Bukankah agama kita mengajarkan bahwa apa pun yang kita pikirkan mengenai Tuhan, itu bukan Tuhan. Jadi Tuhan itu diimani saja, tidak perlu dirasionalkan. Walaupun teori-teori mengenai Tuhan boleh saja dikemukakan. Biar dia tidak percaya kepada Tuhan, asalkan ia berbuat baik dan melaksanakan ajaran Islam menurut ukuran-ukuran kita. Tidak perlu kita mensyaratkan iman kepadanya."

Mas Suparman yang kini sudah menjelang masa pensiun itu sekitar enam puluh lima tahunan nampaknya, paling tidak menurut kesan saya, telah mencapai apa yang ia cita-citakan berdasarkan kebebasan yang ia yakini. Saya berpendapat bahwa pada dasarnya, kakak kami itu masih seorang muslim yang baik. Hidupnya sesuai dengan sepuluh wasiat Tuhan yang didendangkan Iin dan Jaka Bimbo.

Pertama aku masih percaya bahwa ia masih punya iman dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Seperti kata Jalaludin Rumi dan Al Halaj, ia pada akhirnya akan memperoleh pengertian Tuhan yang sebetulnya melekat pada dirinya sendiri jika ia masih tetap bisa menjalankan hidup yang benar berarti Allah masih membimbingnya. Cuma, dia tidak tahu dan tidak mengaku. Malah saya berpendapat bahwa sikap Mas Parman itulah yang mencerminkan Tauhid yang semurni-murninya. Wallahu'alam. Kedua, ia berbuat baik kepada ibu bapaknya, ia tidak pernah mau menyakiti kedua orang tuanya. Harus kami akui bahwa di antara kami, Mas Parmanlah yang paling banyak membantu orang tua kami. Ketiga, ia bisa menjaga harta anak-anak yatim, yaitu adik-adiknya, ia tidak mau mengambil bagian warisannya. Ia serahkan semuanya kepada kita. Mas Parman juga membuat yayasan yang menampung anak-anak yatim. Tutur katanya tidak pernah menyakiti orang lain, ia selalu menjaga diri dari perbuatan-perbuatan tercela.

(Silahkan Anda interpretasikan sendiri kisah cerpen diatas...)

7/19/2008

Kita Adalah Korban...!

Kita adalah korban dari sistem yang membodohi hidup kita...
Kita adalah korban simbol kemapanan yang menggerogoti nurani kita...
Kita adalah korban neoliberalisme yang mengidap kegilaan fatal dan apatis akut...

Kita terlalu sibuk dengan dunia kerja yang pada dasarnya sebagian besar alasan kita untuk bekerja karena tidak ada pilihan lain selain itu, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sampai kita meninggal dunia (yang mana kebutuhan hidup kita pun telah terkomodifikasikan sedemikian rupa)...
Kita pun acuh pada hal-hal yang telah terjadi di luar kehidupan kita...
Pada hal-hal yang dirasakan saudara-saudara kita...
Kita lupa pada penindasan, ketidakadilan, pembodohan dan ke-tidakmanusiawi-an...
Kita diam karena kita tidak memiliki waktu untuk memeriksa kehidupan kita selain hanya untuk bekerja...

Pelajar/mahasiswa diarahkan sedemikian rupa untuk terus sibuk memikirkan pelajarannya agar dapat segera lulus dan bekerja...
Ibu rumah tangga selalu sibuk untuk melayani keperluan anggota rumah tangganya agar suami dapat bekerja dengan lebih baik...
Dan sang anak pun dapat belajar dengan baik untuk dapat meraih cita-citanya, yakni bekerja dengan penghasilan tinggi...
Para pekerja dikepung sana-sini oleh berbagai benda-benda yang harus dikonsumsi agar dapat menjalani hidup bahagia...

Pada akhirnya, kita pun lupa bahwa di bawah rezim tirani neoliberal ini semua orang yang tidak memiliki kapital adalah korban...
Entah, satu detik, satu menit atau satu jam kemudian, satu hari atau minggu berikutnya, atau bulan atau tahun berikutnya...
Entah, kita bisa saja kehilangan hidup dan mimpi indah kita karena tergerus oleh logika akumulasi kapital...

Jika tetap tidak sadar...
Tunggulah saatnya, selamanya kita akan terus menjadi korban...
(Malang, 16 Juli '08)

7/01/2008

Filosofi Dibalik Simbol Anarkis

SIMBOL A DALAM LINGKARAN


Simbol A-dalam lingkaran sampai saat ini sudah bisa dipastikan dijadikan sebagai simbol anarki. Ini adalah sebuah monogram yang terdiri dari sebuah huruf kapital "A" yang dikelilingi oleh huruf kapital "O". Huruf "A" diambil dari huruf awal dari "anarki" atau "anarkisme" dalam banyak bahasa-bahasa Eropa demikian juga kesamaan tulisan baik Latin maupun Cyrillic. Huruf "O" berarti Order. Bila digabungkan menjadi "Anarchy is Order" yang merupakan kutipan perkataan Proudhon (Demanding the Impossible hal. 55).

Tercatat, penggunaan pertama kali simbol A dalam lingkaran oleh anarkis adalah oleh Dewan Federal Spanyol International Workingmen’s Association. Lambang ini dibuat oleh freemason, Giuseppe Fanelli pada tahun 1868. Kemudian simbol ini digunakan pada saat terjadinya Perang Saudara Spanyol, (1936-1939). Terdapat gambar foto salah seorang anggota milisi anarkis dengan simbol A-dalam lingkaran dicat dengan jelas dibelakang helmnya. Simbol tersebut juga diadopsi oleh sebuah organisasi bernama Alliance Ouvrière Anarchiste (AOA) pada saat berdirinya organisasi ini pada tanggal 25 November 1956 di Brussels, dan telah dimunculkan secara independen kembali pada tahun 1964 oleh grup Anarkis Perancis, Jeunesse Libertaire (Libertarian Youth).

Hampir kebanyakan orang kini mengenal pergerakan Anarki dengan simbol ini. Kata Anarki atau Anarkisme di hampir seluruh bahasa dimulai dengan huruf "A", hal ini membuat simbol itu dapat diterima disemua negara. Lingkaran tersebut melambangkan persatuan. Dalam hal disatukannya lingkaran dengan huruf "A", lingkaran tersebut melambangkan kekuatan. Banyak grup-grup Anarkis, walaupun mereka terpisah secara geografis dan berbeda pandangan pada Anarkisme, saling membantu dengan hasrat solidaritasnya yang tinggi.

Huruf "A" juga mempunyai makna simbolis sama dengan bahasa Italia: autogestione (arti harfiahnya kontrol-diri), yang juga dapat diartikan sebagai kekuatan diri. Pergerakan ini mengambil dari pergerakan radikal para pekerja pabrik yang mengambil alih pabriknya, dan menjalankan pabrik itu secara demokratis, tanpa bos. Pergerakan Anarki juga sering dihubungkan dengan persatuan dari para pekerja buruh.

Simbol ini juga dapat ditulis dengan kodepoin Unicode U+24B6.

Tentu saja, simbol A-dalam lingkaran ini juga digunakan sejak lama oleh gerakan anarko-punk, yang merupakan bagian dari gerakan punk-rock pada akhir tahun 1970-an, gerakan punk menggunakan simbol anarki A-dalam lingkaran lebih meluas, bahkan oleh kelompok punk non-anarkis.

BENDERA HITAM


Warna hitam sering dihubungkan dengan pergerakan anarkis semenjak tahun 1880-an. Banyak kelompok-kelompok anarkis yang menggunakan kata "hitam" pada nama pergerakannya. Juga ada beberapa periodik dari pergerakan anarkis yang menggunakan istilah Bendera Hitam.

Keseragaman warna hitam dari bendera tersebut ialah sebagai bentuk dari implementasi pergerakan anarkis untuk menerobos semua batasan. Terutama, warna tersebut merepresentasikan pergerakan internasionalisme yang tidak mengindahkan dari batasan negara – bendera hitam juga melambangkan dari anti bendera (bendera yang berwarna biasanya dijadikan simbol dari sebuah negara). Dan bendera putih merupakan tanda yang diakui secara internasional untuk menyerah dari penguasa — bendera hitam tersebut juga bisa dinilai sebagai simbol pantang menyerah. Pandangan lain dari penggunaan bendera hitam adalah melambangkan peringatan bagi para pejuang anarkis yang kurang mujur dalam perjuangannya. Bendera hitam diambil dari gambar bendera bajak laut Jolly Rogers.

Sejarah Bendera Hitam
Banyak teori-teori anarki diambil dan dimodifikasi dari berbagai versi pergerakan sosialis, dengan simbol bendera yang berwarna merah. Ketika anarkisme mulai memisahkan diri dari pergerakan sosialis sekitar tahun 1880-an, anarkisme lalu mengambil lambang bendera hitam sebagai simbol dari perbedaan pandangan dari jalur pergerakan sosialisme. Bagaimanapun juga hal ini patut diperhatikan, bahwa anarkisme bukan sebuah cabang dari teori sosialisme. Anarkisme bukanlah sebuah pergerakan yang merujuk pada satu sumber ideologi.

Merujuk pada pergerakan awal anarkisme, bukti nyata dari penggunaan warna hitam pada pergerakan anarkisme dimulai pada tahun 1880-an, sebagai tanda duka untuk Komune Paris. Koran anarkis Perancis, Le Drapeau Noir (The Black Flag), yang bertahan sampai tahun 1882, merupakan salah satu acuan dari penggunaan warna hitam sebagi warna anarkis. Black International adalah sebuah nama dari kelompok anarkis di London yang dibentuk pada bulan Juli tahun 1881.

Pada revolusi Rusia di tahun 1917, pejuang anarkis Nestor Makhno juga dikenal sebagai The Black Army. Mereka berjuang dengan membawa bendera hitam dan mencapai beberapa hasil yang krusial di Rusia sampai mereka dikalahkan oleh Tentara Merah Rusia. Kelompok revolusioner Meksiko, Emiliano Zapata, pada sekitar tahun 1910-an, juga menggunakan bendera hitam dengan gambar tengkorak yang disatukan dengan gambar Bunda Maria didalamnya. Slogan dari bendera tersebut adalah "Tierra y Libertad" (Land and Liberty). Pada tahun 1925, Pergerakan anarkis di Jepang membentuk kelompok yang dinamakan Black Youth League, yang mempunyai cabang di daerah koloni Jepang, Taiwan. Pada tahun 1945, kelompok tersebut memberi judul jurnal mereka Kurohata (Black Flag).

Seterusnya, para pelajar di Paris membawa bendera hitam (ditambah warna merah) selama aksi mereka General Strike di bulan Mei 1968. Pada tahun yang sama, bendera ini juga terlihat dipergunakan oleh American Students for a Democratic Society pada konvensi nasional mereka. Juga diwaktu yang sama, sebuah jurnal dari Inggris, Black Flag mulai diterbitkan, dan masih bertahan sampai sekarang. Bendera hitam juga digunakan oleh para pejuang Hizbuttahrir dengan membubuhkan kaligrafi panji Islam diatasnya, mereka memperjuangkan tak ada penguasa dimuka bumi ini selain Allah. Bendera hitam tetap menjadi salah satu simbol dari pergerakan anti penguasa dan pemerintahan sebelah pihak, sampai saat ini.

SIMBOL-SIMBOL ANARKIS LAINNYA

Simbol A-dalam lingkaran dan bendera hitam, keduanya adalah simbol-simbol utama yang kebanyakan dipergunakan oleh anarkis dalam gerakannya. Namun, dalam sejarah banyak pula kelompok-kelompok anarkis yang menggunakan simbol-simbolnya sendiri.

Bendera Merah dan Hitam
Bendera merah dan hitam adalah simbol yang dipergunakan oleh gerakan Anarko-Sindikalisme dan Anarko-Komunisme. Anarko-Sindikalisme yang mana merupakan bagian dari gerakan serikat buruh, melukiskan prinsip-prinsipnya yang diambil dari Anarkisme dan lebih condong kepada sosialisme dibanding kebanyakan gerakan anarkis anti-kapitalisme lainnya. Warna hitam adalah warna tradisional anarkisme, dan merah adalah warna tradisional dari sosialisme.
Bendera merah dan hitam mengkombinasikan 2 warna dalam porsi yang seimbang, dengan pemisahan diagonal yang sederhana. Secara tipikal, bagian merah terletak di sisi kiri-atas, dengan warna hitam terletak di sisi kanan-bawah bendera. Hal ini menyimbolkan eksistensi dari ide-ide anarkis dan sosialis dalam gerakan anarko-sindikalisme.

Tercatat, salah satu kelompok anarko-sindikalis adalah Confederación Nacional del Trabajo (CNT) di Spanyol, yang masih eksis sampai hari ini. CNT, sepanjang dengan Federación Anarquista Ibérica (FAI), sebuah faksi militan yang utama didalam CNT, merupakan pemain utama dalam gerakan anarkisme yang populer di spanyol sepanjang abad ke 19 sampai abad ke 20.

Kelompok ini memiliki versi bendera merah-dan-hitam sendiri yang terdapat inisial pada benderanya. inisial CNT berada diwarna merah, sementara FAI berada diwarna hitam - warna yang merepresentasikan anarki - sebagaimana FAI yang didirikan pada tahun 1927 untuk menjaga CNT agar tetap berada dalam prinsip-prinsip anarkis.

Kucing Hitam
Gambar kucing hitam juga disebut kucing liar (wild cat) biasanya digambarkan dengan buntut yang mengangkat menyerupai panah dan cakar juga gigi yang mengancam, gambar ini juga dapat diartikan sebagai pergerakan anarkisme, khususnya anarko-sindikalis. Simbol ini pertama digambar oleh Ralph Chaplin, yang merupakan pendiri dari kelompok IWW. Digambar untuk memperlihatkan pergerakan mogok kerja mereka dengan cara yang radikal seperti kucing liar. The Industrial Workers of the World (IWW atau bisa disebut Wobblies) merupakan salah satu kelompok sindikat anarcho pekerja, mereka terlibat pada penyatuan awal serikat pekerja seluruh Amerika di awal tahun 1990-an dan juga terlibat pada berbagai kegiatan seperti penolakan dari hadirnya Starbucks coffee shop di New York City. Mereka menggunakan gambar kucing hitam tersebut sebagai lambang dari pergerakan para kelas pekerja.

Sebagai sebuah simbol, kucing hitam mempunyai sejarah yang menghubungkan dengan kegiatan penyhiran, satanis, dan kematian. Hal ini dilihat dari budaya kuno Hebrew dan Babylonia. Penggunaan simbol tersebut pada kegiatan penyihiran tetap digunakan sampai sekarang; anarkisme mengambil simbol tersebut dari esensi kegiatan sihir dan Wicca, walaupun kedua kegiatan tersebut tidak bisa direpresentasikan oleh lambang kucing hitam dengan buntut yang menunjuk keatas membentuk panah.

Mungkin terjadi ketidaksengajaan, dalam salah satu agama penyihiran, Stregheria, juga merupakan sebuah agama sihir anarkis (yang mana memposisikan pemerintah/kapitalis dan gereja Kristen sebagai organisasi penindas yang dikutuk). Kucing hitam mempunyai makna khusus untuk agama Streghe, mereka percaya dewi mereka, Diana, mengambil bentuk kucing hitam untuk menguasai kota Aradia dari Lucifer dalam mimpi Lucifer.

Asal-usul simbol asli kucing hitam masih belum jelas, namun menurut salah satu cerita gambar tersebut diambil dari sebuah kisah pada saat aksi pemogokan yang diorganisir oleh IWW mengalami kemalangan. Banyak anggota organisasi yang terkena pukulan polisi dan dibawa ke rumah sakit. Pada saat itu ada seekor kucing hitam yang kurus berjalan kedalam camp pemogok. Kemudian kucing tersebut terpaksa dimakan oleh para pemogok yang saat itu sedang kelaparan dan berkat kucing itu kesehatan mereka menjadi pulih kembali. Akhirnya aksi mogok pekerja tersebut berhasil mencapai tuntutannya dan akhirnya mereka mengadopsi kucing tersebut sebagai maskot.

Nama Kucing Hitam juga telah dipakai oleh beberapa kelompok kolektif anarkis, termasuk acara musik yang cukup dikenal di Austin, Texas (yang telah diberhentikan menyusul adanya kerusuhan di acara itu pada 6 Juli 2002) dan sekarang berubah fungsi menjadi "dapur kolektif" di sebuah distrik universitas kota Seattle, Washington.

Palang Hitam
Kelompok-kelompok anarkis palang hitam khususnya bertujuan untuk memperjuangkan pembebasan semua tahanan. Awal dibentuk di Tsarist, Rusia sebagai organisasi pendukung para tahanan politik disana. Simbol organisasi tersebut adalah palang hitam, sudut atas palang itu diganti dengan gambar ‘kepalan tinju’, ‘jari-jari yang tertutup rapat’, atau ‘kepalan yang mengangkat keatas’, simbol tersebut juga bisa dihubungkan dengan pergerakan anarkis, penolakan akan penguasa, dan kekuatan personal (black power, youth power, women’s liberation, American Indian Movement, International Socialist Organization, ‘power to the people’, dan lain-lain…). Kepalan tersebut juga merepresentasikan persatuan, dengan "jari-jari yang lemah dapat menjadi kuat dengan dikepalkannya tangan".

Simbol palang hitam tersebut diambil dari simbol palang merah yang digunakan oleh Palang Merah Internasional dan Bulan Sabit Merah (yang didirikan pada tahun 1863), organisasi kemanusiaan terbesar di dunia. Awalnya pergerakan itu disebut Palang Merah Anarkis, nama tersebut diganti pada tahun 1920 untuk menghindari perdebatan ketika Palang Merah mulai mengorganisir pembebasan para tahanan juga. Seperti Palang Merah, perlu diperhatikan juga bahwa simbol tersebut tidak diambil dari salib agama Kristen, walaupun simbol itu hampir menyerupai salib agama Kristen. Simbol Palang Merah dan Palang Hitam Anarkis adalah simbol kemanusiaan, sedangkan simbol salib Kristen melambangkan organisasi agama.

Sepatu Kayu
Gambar sepatu kayu digunakan secara simbolis oleh para anarkis pada abad ke-19 dan dan awal abad ke-20, walaupun sampai sekarang penggunaan simbol tersebut jarang lagi digunakan. Bahasa Perancis untuk sepatu kayu adalah sabot, yang mungkin merupakan dasar dari kata sabotase. Para pekerja yang ingin menghentikan kegiatan kerja mereka akan melempar sepatu kayu kedalam mesin-mesin pabrik atau pertanian, yang secara efektif menghentikan kerja mesin itu sampai mesin itu dapat diperbaiki kembali.

Di Philadelphia, Pennsylvania, terdapat toko buku anarkis yang diberi nama The Wooden Shoe, dan sejak tahun 2001 sampai tahun 2003 ada majalah anarkis dari Denmark yang berjudul Sabot.

Kunci Inggris dan Kapak Kuno
Gambar kunci Inggris juga diambil sebagai simbol dari sabotase, hal ini mungkin ada kaitannya dengan buku Edward Abbey, ‘The Monkey Wrench Gang’ dan dipopulerkan oleh kelompok Earth First!. Kunci Inggris dalam struktu bahasa kata benda juga berarti menyabotasi sesuatu, biasanya sesuatu yang jahat dan buruk untuk lingkungan dunia. Lambang kunci Inggris untuk kelompok Earth First! sering digabungkan secara menyilang dengan gambar kapak kuno (seperti simbol palu arit komunis) untuk menampilkan simbol akan kehancuran mesin-mesin yang merusak bumi. Earth First!, walaupun bukan sebuah organisasi resmi, telah memutuskan lewat konsensus (sebuah metode populer untuk mendapatkan keputusan diantara para anarkis), bahwa mereka tidak mendukung pengrusakan properti sebagai taktik perjuangan mereka. Lambang kunci inggris sampai sekarang masih digunakan oleh kelompok Earth First!, yang mana filosofi dasar mereka adalah "tak ada kompromi dalam memperjuangkan keberlangsungan bumi" dan "stand up for what you stand on".

Bendera Hitam dan Hijau
Bendera hitam dan hijau adalah suatu modifikasi dari bendera anarki merah dan hitam. Bendera tersebut digunakan oleh para ekologi sosial, eko-anarkis, anarkis anti kebudayaan dan primitifisme. Warna bendera tersebut diambil untuk menggambarkan pandangan anarkis mereka yang memfokuskan pada penguasaan diri dari segala bentuk kehidupan (hewan , manusia, dan semua tumbuhan) bukan hanya manusia saja.

Bendera Hitam dan Merah Muda
Variasi lain dari bendera merah dan hitam, bendera hitam dan pink digunakan oleh para anarkis gay, dan terkadang digunakan juga oleh Anarko-Feminis. Tak seperti bendera hitam dan hijau, warna bendera tersebut tidak merepresentasikan bentuk lain dari pergerakan anarkisme, namun warna tersebut digunakan untuk melambangkan perlawanan pada tatanan hirarkis di dunia heterosexual, sexisme dan tatanan patriarki.

Dibatas Airmata, Menantang Kesedihan

Kalian yang mengurai airmata
Terkapar dalam kubang kesedihan yang menyiksa
Terlelap termenung sendiri dalam penyesalan
Untuk apa, tiada guna

Lihatlah di cermin
Kitalah keindahan yang tak terjamah
Kitalah siang yang terbenam
Kitalah malam yang benderang
Kitalah kehidupan yang berwarna

Percintaan seharusnya tidak membuat lara
Memasung diri pada rangkaian derita
Menjelma diri menjadi asa yang tertunda
Untuk apa, tiada guna

Lihatlah ribuan bunga menanti kebangkitan kita
Rasakanlah bagaimana dunia baru akan tersenyum
Nikmatilah parade kegembiraan
Yang siap untuk mengarak kita
Menuju ke oase kehidupan
Dimana tak ada lagi airmata

Pamerkanlah semangatmu pada dunia
Tertawalah diatas penderitaan
Karena inilah...
Perhelatan akbar menantang kesedihan

(Malang, 30 Juni '08)

Kau & Aku

Bergeraklah bersamaku
Kan kubawa kau menuju padang kebebasan
Yang menawarkan aroma persaudaraan

Bernyanyilah bersamaku
Tinggalkan rutinitas kebosanan yang memasungmu
Sebab dunia tidak hanya dibalik buku

Berlarilah bersamaku
Disaat realita mulai terlihat angkuh
Kita lawan dunia yang merampas kehidupanmu

Dan hanya antara kau & aku...

(Malang, 20 Juni '08)

6/16/2008

Tatto : Dikecam Tapi Digemari

“Woi, liat deh! Ada orang bertatto…
Wah serem banget tuh orang, pasti preman, kalo gak pasti kriminal tu orang”

Pernahkah anda mendengar ucapan seperti itu?
Berapa kali? Puluhan kali? Ratusan kali?
Bahkan mungkin setiap ada orang yang bertatto?

Benar begitu bukan?!
Atau mungkin anda sendiri pernah ngomong seperti itu, sadar atau tidak?

Apakah Orang Bertato = Orang Jahat ?

Anggapan negatif seperti ini secara tidak langsung mendapat “pengesahan” ketika pada tahun 80-an terjadi pembunuhan misterius terhadap ribuan orang gali (penjahat kambuhan) di berbagai kota di Indonesia. Soeharto (mantan presiden) dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (PT. Citra Lamtorogung Persada, Jakarta, 1989), mengatakan bahwa petrus (penembakan misterius) itu memang sengaja dilakukan sebagai treatment, tindakan tegas terhadap orang-orang jahat yang suka mengganggu ketentraman masyarakat.

Bagaimana cara mengetahui bahwa seseorang itu penjahat dan layak dibunuh? Brita L. Miklouho-Maklai dalam Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Indonesia Sejak Tahun 1966 (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997) menyebutkan bahwa para penjahat kambuhan itu kebanyakan diidentifikasi melalui tatto, untuk kemudian ditembak secara rahasia, lalu mayatnya ditaruh dalam karung dan dibuang di sembarang tempat seperti sampah.

Mengapa sampai terjadi generalisasi seperti itu?
Apa kira-kira dasar alasannya?
Apakah dulu kebetulan pernah ada seorang penjahat besar yang punya tatto dan itu lalu dipakai sebagai ciri untuk menggeneralisir bahwa semua orang yang bertatto pasti penjahat juga?
Ataukah karena penjahat yang sering ditayangkan di media selalu bertatto?

Sayangnya belum ada studi mendalam yang bisa menguak pergeseran makna tatto dari ukiran dekoratif sebagai penghias tubuh dan simbol-simbol tertentu menjadi tanda cap bagi para penjahat.

Tapi yang jelas telah terjadi “politisasi tubuh”. Tubuh dipolitisir, dijadikan alat kendali untuk kepentingan negara. Dalam kasus petrus di Indonesia, tubuh yang bertatto dipakai sebagai alat kendali, suatu alasan kuat untuk menjaga keamanan dan stabilitas negara. Untuk tingkat dunia, bisa disebut beberapa contoh kasus politik tubuh besar sepanjang sejarah peradaban manusia. Orang-orang kulit putih menerapkan sistem politik apartheid di Afrika Selatan hanya karena orang-orang Afrika “berkulit hitam”. Dari Jerman, Hitler dengan Nazi-nya membantai orang-orang Yahudi hanya karena di dalam tubuh orang Yahudi tidak mengalir darah Arya, darah tubuh manusia yang paling sempurna yang pernah diciptakan Tuhan di bumi ini menurut Hitler.

Dan celakanya juga, fenomena yang terjadi di masyarakat adalah masyarakat kita kurang bisa menghargai dan mengkritisi sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Kita terlalu banyak dijejali semiotika simbol-simbol yang semakin lama semakin “merusak” daya nalar kita. Hanya mengangguk-angguk dan meng-iya-kan apa yang dibilang orang tapi tidak (mau) tahu apa sih maksud dan tujuannya.

Anggapan negatif masyarakat tentang tatto dan larangan memakai rajah atau tatto bagi penganut agama tertentu semakin menyempurnakan imej tatto sebagai sesuatu yang: dilarang, haram dan tidak boleh. Sehingga akibatnya masyarakat semakin “setuju” bahwa mereka, apa yang dibilang oleh Marjinal sebagai Masberto (Masyarakat Bertato), adalah orang-orang yang aneh, berandalan dan tidak tahu aturan di masyarakat. Bahkan media pun semakin berperan dalam mempertegas fenomena ini, penggambaran oleh media (baik di film ataupun berita) yang seakan “menceritakan” bahwa bertato sama dengan rendahnya moral berhasil “meracuni” pikiran masyarakat untuk ikut-ikutan menghakimi para Masberto.

Perkembangan Sekarang Ini

Tapi nampaknya sekarang ini masyarakat sudah banyak yang menyadari apa dan bagaimana hakikat orang yang bertatto. Dibuktikan dengan mulai banyaknya masyarakat, khususnya kalangan muda yang berminat membuat tatto (baik permanen atau temporer). Tatto mulai dianggap sebagai sesuatu yang modis, trendi dan fashionable.

Jauh sebelum munculnya anggapan seperti itu, sejak awal tatto memang dekat dengan budaya pemberontakan. Maka memakai tatto sama dengan memberontak terhadap tatanan nilai sosial yang ada, sama dengan membebaskan diri terhadap segala tabu dan norma-norma masyarakat yang membelenggu. Orang-orang yang dipinggirkan oleh masyarakat memakai tatto sebagai simbol pemberontakan dan menunjukkan eksistensi mereka.

Dan setiap jaman akan melahirkan konstruksi tubuhnya sendiri-sendiri. Dulu tatto dianggap jelek, sekarang tatto dianggap sebagai sesuatu yang modis dan trendi. Kalau era ini berakhir, entah tatto akan dianggap sebagai apa. Mungkin status kelas sosial, mungkin sekedar perhiasan, atau yang lain.

Propaganda Kehidupan

Janganlah sekedar EKSIS,
HIDUPLAH...!

Janganlah sekedar MENYENTUH,
RASAKANLAH...!

Janganlah sekedar MELIHAT,
PELAJARILAH...!

JaNganlah sekedar MEMBACA,
RESAPILAH...!

JanganLah sekedar MENDENGAR,
SIMAKLAH...!

Janganlah sekedar MENYIMAK,
PAHAMILAH...!

JanganLah sekedar BERPIKIR,
MERENUNGLAH...!

Janganlah sekedar BERBICARA,
NYATAKANLAH SESUATU...!

5/28/2008

Kill 'The Koruptor' !























Bagaimana ???



Apakah Anda yakin akan menghapus 'The Koruptor' dari bumi ini ???



Ataukah malah sebaliknya, Anda berminat untuk menjadi 'The Koruptor' selanjutnya ???



Cepat Anda klik, sekarang juga !



Karena pilihan ada di tangan Anda........

Menghujat Kapitalisme !!!

Dari judul diatas, mungkin Anda bertanya-tanya...
Mengapa kapitalisme begitu dibenci banyak manusia?
Mengapa ia harus dihujat?
Mengapa ia pantas untuk dihujat?
Dan mengapa-mengapa lainnya...

Karena jawabannya adalah...
KAPITALISME MEMANG PANTAS UNTUK DIHUJAT!

Ia bukan hanya faktor utama yang memassifkan kemiskinan, tapi juga menimbulkan banyak ketidakadilan, kekerasan dan perang. Terutama semakin membesarnya kesenjangan antara si miskin-si kaya, juga merusak bumi dan kehidupan manusia. Ada 2 fondasi dasar keberadaan kapitalisme yang membuat ia pantas dihujat. Pertama, kapitalisme hidup didasarkan pada pengeksploitasian manusia terhadap manusia lainnya tanpa ampun, termasuk terhadap alam raya kita. Kedua, kapitalisme hidup dengan menempatkan laba diatas kemanusiaan, dengan mengejar hasil produksi maksimal dan biaya produksi serendah-rendahnya.

Didalam sistem kapitalisme, apa pun dan sampai kapan pun, yang menjadi tujuan-alasan-parameter-segalanya-selalu dan selalu adalah LABA. Laba telah menjadi "tuhan-nabi-dan-kitab-suci" bagi kapitalisme. Hanya orang yang kuat dan bermodal saja yang mampu membentuk laba dengan mengeksploitasi manusia lainnya dan alam. Karena laba adalah segalanya, maka manusia-manusia tanpa kuasa dan tanpa modal hanya akan menjadi objek yang dieksploitasi, tak lebih dari sekedar alat yang diperas untuk menghasilkan laba bagi mereka yang berkuasa.

Lalu, laba-laba ini akan terus terakumulasi hanya dikantong-kantong sebagian kecil warga dunia penguasa dan pemilik apa yang kita kenal dengan TNC/MNC (Trans/Multi National Corporations), perusahaan-perusahaan raksasa dunia. Dengan kekuatan akumulasi laba, mereka bisa melancarkan perang, membunuh manusia, merampok bangsa lain, membangun pesawat tempur super-canggih, memproduksi bom nuklir, memeras demi kemakmuran diri, menguasai serta mengendalikan sumber daya alam, perekonomian dan pasar, sekali lagi ini semua karena LABA dan LABA.

Cinta di alam kapitalisme pun menjadi lain. Cinta mengalami metamorfosis menjadi sesuatu yang diperjualbelikan, menjadi suatu komoditi yang dibungkus indah dalam kegilaan 'Valentine', menghasilkan lembaran uang, meningkatkan penjualan, meledakkan laba, untuk kembali mengeksploitasi kebodohan manusia-manusia di tahun-tahun mendatang.

Uang telah memperkosa dan mengkomersilkan cinta hingga bisa dijual dalam bentuk jantung merah muda dan dikemas dalam blok-blok coklat tanda kasih sayang. Semua mal menyambutnya, dengan rok mini-baju ketat, lipstik pink, perjamuan glamour di hotel-hotel berbintang dan sebuah ilusi superhebat pun digelar agar manusia merasakan telah mencurahkan cintanya dan berkasih sayang penuh romantika. Beli sekarang mumpung lagi diskon! Kapitalisme telah membuat cinta menjadi sedemikian sempit dan menginjak-injak makna cinta menjadi begitu rendah.

Namun tidak demikian bagi mereka yang hidup di bantaran kali, nelayan-nelayan dan para ibu-bapak tani yang semakin terpinggirkan, termarjinalkan, tergusur oleh kekuasaan dan modal atas nama pembangunan dan kemewahan. Rumah dan tanah mereka di buldozer hingga mereka tinggal di tenda-tenda darurat. Pantai dan sawah tempat menggantungkan hidup kini telah direnggut untuk menyediakan kompleks perumahan mewah dan mal-mal guna merayakan hari Valentine tiap tahunnya.

Kalau sudah begini, lalu dimana makna CINTA yang sebenarnya?

Lihat! Saat ini kebutuhan pokok kita semakin melambung tinggi dan tidak terjangkau. Pendidikan, kesehatan, transport, gula, minyak, tanah, beras, ikan, daging, telur, listrik dan air, semuanya MAHAL! Pengangguran dan kemiskinan juga semakin merajalela. Bagaimana dengan nasib mereka? Peduli setan dengan mereka semua, toh tujuan hidup kapitalisme adalah LABA dan bukan MANUSIA.

Oleh karena itu, kita akhiri lagi dengan pertanyaan...

Setujukah kita dengan pemikiran bahwa manusia memang selayaknya hidup di bawah dan lebih rendah martabatnya dari laba, bahwa laba lebih mulia dan lebih penting dari kemanusiaan kita?

Jawaban kita akan menentukan kadar kemanusiaan kita!
Kita adalah bagian dari itu semua, kita memiliki tanggung jawab sejarah untuk mengubahya!
Entah sebagai sosok yang memperkuat laba atau sebaliknya berpihak dan memperkuat posisi kemanusiaan kita...

Selamat merenung dan (akhirnya) bertindak !!!