10/26/2008

Fenomena Era Konsumtif

Faktor utama yang membuat masyarakat konsumen modern menjadi mungkin dan niscaya adalah keberhasilan dari Revolusi Industri, khususnya dalam meningkatkan produktivitas buruh. Revolusi Industri --dimulai dengan Inggris lebih dari 200 tahun silam-- yang menggabungkan inovasi teknologi dan manajemen sehingga memungkinkan buruh pada umumnya menghasilkan output (produk) yang lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya. Populasi kita juga menjadi dua kali lipat, beberapa kali dan menjadi lebih banyak lagi, namun pertumbuhan produktivitas --juga outputnya-- berlangsung jauh lebih cepat sehingga output per orang akan semakin lebih banyak beberapa kali lipat. Inilah yang secara mendasar merupakan penjelasan bagi meningkatnya standar kehidupan yang demikian menonjol pada bagian awal abad ini, hingga masa sekarang.


Sebelum abad ke-17, orang pada umumnya hanya memiliki satu pakaian, atau apabila ia cukup sejahtera, bisa memiliki dua atau lebih potongan pakaian selama masa dewasanya. Jumlah barang yang dimiliki oleh sebuah keluarga yang bukan golongan elit mungkin dapat dihitung dengan jari. Sedikit sekali. Dan kini gaya hidup semacam itu kita sebut sebagai kemiskinan.

Karena itu, dengan pertumbuhan produktivitas yang begitu cepat dan fantastis, melampaui pertumbuhan populasi itu sendiri, maka ekonomi kita lantas bergantung pada konsumsi massa(1). Logikanya sederhana! Karena kita menjadi semakin produktif maka akan semakin banyak pula barang yang dihasilkan. Apa yang dihasilkan harus dijual, ini adalah syarat mendasar. Karena kebutuhan dasar orang semakin terpenuhi, maka ada kemungkinan bahwa kita sedang mendekati titik jenuh. Lalu, apa yang akan terjadi pada sistem yang terus berputar untuk menghasilkan barang-barang yang semakin bertambah ini? Perhatian ini merupakan dasar bagi pengerahan lebih banyak bakat dan energi masyarakat kita untuk menemukan cara agar orang menginginkan barang-barang yang semula tidak mereka butuhkan.

Oleh karena itu, korporasi atau industri raksasa diciptakan untuk membujuk setiap orang agar yang mempunyai uang agar tetap menggunakannya untuk membeli semakin banyak dan semakin banyak. Bukan hanya barang-barang yang akan membuat hidup mereka lebih baik, tetapi juga barang X yang hanya menciptakan persoalan, serta barang Y untuk memecahkan persoalan yang diciptakan oleh barang X, dan ini terjadi berulang-ulang dalam berbagai hal. Inikah yang kita inginkan, kawan?

Imaji yang Ditawarkan kepada Manusia

Sebenarnya apa sih yang diinginkan oleh mayoritas setiap manusia? Yaitu rasa aman, kenyamanan, kehormatan dan hiburan. Manusia telah sangat berhasil dalam meraih tiga di antara empat hal tersebut.

Rasa aman; sebagian dari kita tidak harus mencemaskan dari mana makanan kita berasal. Toh, pada akhirnya kita semua akan mati, tetapi umumnya kita beralasan untuk selalu berharap dapat hidup lebih dari 70 atau bahkan 80 tahun.

Kenyamanan; di antara banyak kenyamanan istimewa yang telah kita raih, perrtumbuhan produktiftas telah memungkinkan masyarakat sekarang memiliki komoditas yang lebih baik yang pastinya akan membuat iri para raja maupun bangsawan di abad-abad silam. Sebagian besar hal itu merupakan hasil dari teknologi, yang sekaligus merepresentasikan fakta bahwa akses kita terhadap benda material maupun energi menjadi lebih kaya ketimbang aristokrat di zaman kuno.

Hiburan; kita juga telah menikmati hal ini sama baiknya dengan kenyamanan. Contohnya adalah akses kita sepanjang 24 jam sehari untuk membaca buku, mendengarkan atau bermain musik, menonton film ataupun bermacam-macam hiburan lainnya.

Lalu bagaimana dengan kehormatan? Hal-hal yang membuat kita merasa dihargai oleh orang lain, hal-hal yang menciptakan rasa seperti ini akan sangat bervariasi dari tiap individu maupun budaya, namun keinginan akan rasa hormat itu tampaknya bersifat universal. Dalam masyarakat kita, salah satu cara untuk mendapatkan kehormatan ialah melalui keberhasilan. Bagi banyak orang, penghargaan sangat terkait dengan apakah mereka mampu meraih keberhasilan dalam hal-hal yang diakui oleh kelompok mereka. Istilahnya mungkin bisa berbeda-beda, namun seluruh definisi keberhasilan ini sangat terkait dengan apa yang terjadi pada pertumbuhan setelah masa Revolusi Industri. Kita dibujuk oleh produsen bahwa harga diri kita menuntut agar kita bertindak lebih pintar daripada orang lain (yang bekerja sangat keras agar lebih maju dibanding kita), karena keberhasilan didefinisikan sebagai keberhasilan material !

Siapa yang mati dengan banyak mainan, dialah yang menang… “

Kita tidak bisa melepaskan diri dari alur atau siklus kehidupan ini, sebab uang untuk membiayai kehidupan yang aman, nyaman, menghibur serta berhasil tentu menuntut adanya kerja keras dari pekerjaan yang bisa menghasilkan; dan tidak akan ada pekerjaan jika orang-orang tidak selalu membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan yang diproduksi oleh para pekerja produktif ini. Dan hal inilah yang menjadi bagian dari penjelasan tentang mengapa masyarakat kita mendefinisikan kehormatan dengan istilah keberhasilan. Inilah imaji kebahagiaan yang sangat kuat yang bisa memikat manusia sedemikian rupa, karena definisi itu membuat kita ingin terus mengejar lebih banyak uang dan membelanjakan lebih banyak uang lagi sehingga akan terus membuat sistem yang menyebalkan ini tetap hidup dan bekerja. Inilah jantung budaya konsumerisme, imbas dari sistem dominasi kapitalisme.

Sebuah Harapan Menuju Transisi
Jadi, disinilah sekarang kita berada, di dalam situasi ketika masyarakat harus mengonsumsi lebih banyak sekalipun hal-hal yang dikonsumsi tersebut tidak akan menambahkan apapun pada kesejahteraan atau kebutuhan tertentu. Seandainya orang melawan tekanan untuk memasuki arena balap-tikus konsumerisme --mencari lebih banyak uang untuk mengonsumsi lebih banyak lagi—maka akan terbayanglah suatu kegagalan bisnis, karena para produsen tidak dapat menjual apabila konsumen tidak dapat membeli. Bayangkan seandainya kita semua bersepakat bahwa kita harus menjauh dari budaya konsumerisme yang begitu total dan mengakar karena alasan-alasan kemanusiaan, lingkungan, kultural atau mungkin spiritual, sangat jauh! Mustahil kita bisa membayangkannya secara menyeluruh, mungkin kita hanya dapat membayangkan retakan-retakan yang akan muncul disekitarnya. Tapi jelas retakan inilah kesempatan yang kita punya untuk lebih memperbesar lagi retakan yang nantinya akan meluluhlantakkan sistem (menyebalkan) ini.

Dan inilah yang harus kita sadari, ketika Anda memikirkan mengenai hal ini, tentunya Anda akan menyadari bahwa tidak ada yang lebih buruk daripada sistem kita saat ini. Dimana semuanya dilabeli oleh harga dan imaji-imaji kebahagiaan semu. Untuk mengubah nilai-nilai yang telah telanjur dipegang teguh oleh khalayak luas ini sangatlah sulit bukan?! Apalagi menuju transisi dunia yang berbasis nilai-nilai manusia daripada nilai-nilai yang didikte oleh harga. Ah, situasi yang sangat kompleks dengan banyak unsur yang saling dependen. Namun, tentunya kita masih memiliki cukup waktu untuk sedikit demi sedikit menyadarinya dan berjalan bersama menuju indahnya transisi tersebut.

So, let’s dance together dude,
believe that your desires are more essencial than your useless needs…

Rekam Jejak :
(1) Ketika berbicara mengenai ‘barang konsumsi massa’, istilah tersebut harus dipahami sebagai barang maupun jasa. Jadi barang konsumsi massa disini saya artikan sebagai barang yang mudah didapat, dan memang, diproduksi secara massal. Barang mewah, sebaliknya, diproduksi dalam jumlah sedikit dan terbatas sehingga memberi penampilan yang istimewa untuk sekelompok elit pembeli yang jumlahnya terbatas. Perlu juga dicatat bahwa barang konsumsi massa juga mencakup barang dan jasa yang diperlukan demi kelangsungan hidup manusia dan karena itu juga dapat dikatakan untuk melayani kebutuhan dasar manusia

No comments: