8/30/2008

Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme

Menjadi Mahasiswa : Kuliah Sebagai Obsesi
Memasuki perguruan tinggi merupakan cita-cita setiap remaja. Minat memasuki perguruan tinggi rata-rata meningkat dari tahun ke tahun. Ini membuktikan bahwa melanjutkan pendidikan tidak hanya berhenti pada tingkat SMU saja.Bahkan mulai banyak orang yang menyadari bahwa pendidikan adalah hakikat manusia dalam kehidupan, pendidikan seumur hidup (long-life education).

Bagi mereka, memasuki perguruan tinggi diiringi berbagai macam obsesi. Obsesi mencari ilmu dan pengetahuan, bisa jadi, alasan yang telah usang. Alasan utama seringkali adalah memudahkan mencari pekerjaan. Pendidikan adalah sarana yang membantu memudahkan mobilitas sosial. Dengan kuliah diharapkan akan mendapatkan pekerjaan yang berbeda dengan mereka yang hanya lulusan sekolah (SD, SMP atau SMU). Pada kenyataannya obsesi semacam itu kian hari semakin jauh dari benak para remaja yang hendak memasuki perguruan tinggi – selanjutnya akan disebut kampus.

Dalam budaya yang telah berubah ini, yang dimaksud mobilitas sosial bukan berarti berkaitan dengan masalah (mendapatkan) pekerjaan, posisi atau jabatan yang mendatangkan uang. Dalam iklim budaya kapitalistik sekarang ini, mobilitas lebih banyak bermakna perubahan gaya hidup. Menjadi mahasiswa adalah soal status yang mendefinisikan gaya hidup kaum muda yang dicirikan sebagai kaum yang bergaya hidup berbeda dibanding kaum lainnya. Gaya hidup mahasiswa adalah gaya hidup kelas menengah – bahkan juga gaya hidup kelas atas, yang dicirikan dengan kemampuannya mengonsumsi produk dan gaya hidup modern.

Apalagi muncul sebuah tendensi dimana mahasiswa tidak lagi bercitra sebagai kaum intelektual, pembela rakyat atau aktivis perubahan (agent of change). Posisi dan peran insan kampus ini mengalami titik kritis dan dipandang oleh masyarakat semakin tak jelas lagi.

Mengingkari Sejarah
Sejarah gerakan mahasiswa adalah sejarah pembebasan rakyat, sejarah perubahan bagi terciptanya keadilan sosial. Di Indonesia, gerakan mahasiswa lahir atas kondisi historis untuk menjawab kondisi penindasan bangsa.

Budaya mahasiswa saat ini berbeda dengan mahasiswa zaman dulu: malas membaca dan belajar, kecuali buku teks dengan maksud mengejar kepentingan akademik pragmatis, supaya dapat nilai formal yang baik. Kebanyakan dari mereka, dalam budaya hedonistik kapitalisme, menghambur-hamburkan uang orangtua (hasil keberhasilan status sosial dalam logika penindasan kapitalisme) dan jarang yang berpikir susah-susah. Waktu mereka hanya untuk bersenang-senang dan jelas seperti binatang yang bergerak dan hidup berdasarkan insting (kehendak). Mirip binatang, mengendus-endus produk di mall, memenuhi insting spesies makhluk (seks) dengan “pacar”, diperbudak dengan pasangannya hanya untuk menghabiskan waktu dengan “bercinta” dan membuang-buang waktu bagi cinta universal (untuk kehidupan sosial yang adil).

Pada perkembangannya, hakikat mahasiswa sebagai “siswa” yang “maha” justru terbalik: Mereka, sebagai bagian dari budaya konsumen dan “anak modal”, justru tidak hadir sebagai golongan sosial yang mampu berpikir kritis-filosofis dan tidak mampu menjadikan diri sebagai manusia yang mempertanyakan segala sesuatu (realitas sosial) untuk kemudian menjadi kekuatan perubahan bagi struktur sosial yang adil. Tentu saja hal ini menyimpang bukan hanya secara hakikat eksistensial manusia terdidik yang disebut mahasiswa, tetapi juga secara konteks sejarah gerakan mahasiswa itu sendiri.

Mahasiswa Sebagai Tumbal Kapitalisme Pasar ?
Sekarang ini, mahasiswa diasingkan dari realitas sosial dan dari kebiasaan berpikir kritis serta berilmu pengetahuan baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Dalam hal ini, kapitalisme menyerang dan membentuk mahasiswa agar ia tak lagi dapat menjadi “mahasiswa sejati”, yang belajar sungguh-sungguh dan “haus pengetahuan”, lalu beranjak membela kebenaran dan keadilan. Dengan demikian , semakin mahasiswa jauh dari ilmu pengetahuan dan aksi keberpihakan, maka upaya yang dilakukan kapitalisme untuk mempertahankan penindasannya akan berhasil.

Dari sini kita melihat bahwa munculnya gaya hidup “anti-ilmiah” dan “anti-aksi advokasi di kalangan mahasiswa bukan muncul dengan sendirinya tapi memang sengaja dibentuk. Jangan menyalahkan mahasiswa, tapi juga jangan memanjakannya. Di sisi lain, meskipun tidak berlaku pada semua mahasiswa (atau kaum muda), kapitalisme (terutama di sektor pendidikan) juga menindas secara ekonomi. Bukti penindasan tersebut adalah munculnya aksi-aksi yang masih saja terjadi soal isu mahalnya pendidikan, aksi menolak kenaikan SPP dan pungutan liar, aksi menolak komersialisasi kampus hingga menuntut pendidikan gratis, ilmiah dan demokratis. Selain itu, pendidikan kapitalis itu sendiri telah mendiskriminasi kalangan muda dalam meraih pendidikan tinggi. Berapa banyak lulusan sekolah menengah atas yang tak bisa menikmati pendidikan tinggi. Lagi-lagi, karena pendidikan mahal dan terkomersilkan, sehingga hanya anak orang kaya saja yang boleh belajar di perguruan tinggi.

Berdasarkan desain para penumpuk modal, terutama yang berlevel internasional, diharapkan kampus tidak menjadi penghalang bagi usahanya dalam mengakumulasi kapital (modal). Bahkan generasi muda dan mahasiswa dicetak untuk meraih profesi-profesi yang kelak akan mengabdikan diri pada penumpuk modal. Peran negara juga diharapkan sesuai dengan kepentingan mereka. Untuk menghilangkan kemungkinan bagi terciptanya mahasiswa-mahasiswa yang kritis dan menentang kapitalisme, negara diharuskan melakukan sistem pendidikan dan kebijaksanaan kampus yang tidak memungkinkan para mahasiswa untuk memulai perubahan. Tentu saja usaha ini juga sejalan dengan kepentingan birokrasi-birokrasi kampus yang diuntungkan jika mahasiswanya bodoh-bodoh. Kalau bisa, dibuat bagaimana mahasiswa hanya dieksploitasi dari pembayaran-pembayaran dana pendidikan yang akan menguntungkan pihak-pihak yang berkaitan. Sementara tidak pernah kemudian budaya akademis yang kritis itu digagas,

Kegiatan-kegiatan mahasiswa yang diapresiasi adalah kegiatan yang tidak memungkinkan mahasiswa berpikir, apalagi kritis dan melawan kesewenang-wenangan kampus dan “negara yang terkapitalkan”. Kita bisa lihat, kegiatan-kegiatan yang bersimbiosis dengan suatu faksi kapital akan selalu menjadi besar dan digandrungi oleh banyak mahasiswa ketimbang kegiatan yang memungkinkan mahasiswa kritis. Bola basket, cheerleaders, parade musik, paduan suara dan lain-lainnya akan selalu mendapat biaya yang besar terutama dari kekuatan kapital, dan dalam banyak kampus lebih didukung oleh pihak birokrasi. Kegiatan yang memungkinkan mahasiswa menjadi objek pemuja artis, yang membuat mahasiswa tidak bisa berpikir selain memuaskan budaya hedonisme, akan lebih melanggengkan sistem kapitalisme dan penindasannya. Sementara kegiatan-kegiatan seminar, diskusi dan ekspresi mahasiswa atas ketimpangan sosial berupa aksi akan dihadapkan dengan birokrasi yang njelimet, bahkan tidak jarang juga ditolak mentah-mentah.

Intinya, mahasiswa dan calon mahasiswa (remaja dan kaum muda) di negeri ini mengalami penindasan. Disini terdapat konstruksi gaya hidup dan budaya, meskipun bukan kontradiksi pokok, namun merupakan pintu masuk bagi kapitalis untuk bertahan dan melakukan penindasan. Kalau kaum muda bodoh dan tanpa pendidikan, kalau nalar kritis ditumpulkan dan pengetahuan dijauhkan, siapa pun akan menjadi rombongan makhluk idiot dan ‘penurut’ yang dengan begitu mudahnya diarahkan, dibentuk, dikuasai dan ditindas demi kepentingan segelintir elite (modal) yang memegang kekuasaan. Tak ada yang menyangkal, mahasiswa berada dalam kondisi dipertaruhkan.

RUU BHP : Bentuk Komersialisasi Dunia Pendidikan

Hakikat pendidikan sebagai alat untuk mencerdaskan manusia sehingga ia mampu membebaskan dirinya dari segala bentuk penindasan saat ini semakin tak bisa teraih oleh kaum marjinal, yakni mereka yang termiskinkan oleh sistem kapitalisme dengan wajah barunya, Neoliberalisme. Pendidikan hendaknya bisa dinikmati oleh seluruh manusia di muka bumi demikian juga halnya dengan Bangsa Indonesia yang dengan tegas disebutkan dalam Preambule UUD 1945. Akan tetapi di bawah kebijakan neoliberalisme dalam dunia pendidikan, yakni privatisasi pendidikan menjadi hal yang mustahil.

Privatisasi pendidikan bisa ditunjukkan dengan perubahan status perguruan tinggi negeri sejak tahun 1999, bersamaan dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 61/Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum. Dari 4 kampus percobaan (UI, UGM, ITB, dan IPB) kemudian bertambah 8 tahun 2000 yaitu UPI Bandung, Univ. Airlangga (Unair), Univ. Diponegoro (Undip), dan Univ. Sumatra Utara (USU), dan untuk tahun 2007 selanjutnya jumlah perguruan tinggi negeri yang akan berubah status menjadi BHMN semakin bertambah. Intinya, perubahan status itu tak lebih dari penghalusan privatisasi dan kapitalisasi perguruan tinggi negeri. Fakta tersebut jelas menunjukkan ketertundukan pemerintah terhadap komersialisasi pendidikan. Akibatnya, pendidikan semakin mahal dan hanya kelas menengah ke atas yang mampu mengakses pendidikan, apa lagi sampai ke tingkat perguruan tinggi.

Landasan dibentuknya RUU BHP yang kini masih menjadi perdebatan adalah pasal 53 UU Sisdiknas yang mengatakan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan, yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik, berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Dalam pasal tersebut dikatakan pula bahwa ketentuan mengenai badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri yang kini sedang dibahas. Tak jauh beda dengan perubahan status perguruan tinggi negri menjadi BHMN, BHP tak lebih dari bentuk privatisasi yang dipehalus dengan menggunakan prinsip nirlaba dengan dalih untuk membendung komersialisasi atau kapitalisasi pendidikan.

Benarkah demikian? Ternyata fakta justru berbicara lain, pemerintah telah mengeluarkan Perpres no 76 dan 77 yang merupakan turunan dari UU Penanaman Modal Asing. Dalam perpres itu dengan jelas dinyatakan bahwa penanaman modal asing diperbolehkan sampai sebesar 40% bagi sektor pendidikan. Sementara untuk menuju universitas yang berstatus BHP, universitas harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
1. Mahasiswa
2. Matakuliah
3. Manajemen
4. Sumber daya manusia
5. Keuangan
6. Perolehan pendapatan
7. Administrasi yang profesional, menurut HELTS 2003-2010

Dari tujuh butir persayaratan di atas jelas belum bisa dipenuhi oleh universitas-universitas di Indonesia, bahkan universitas sebesar UI atau UGM sekalipun masih menjadikan mahasiswa sebagai donatur bagi pendapatan universitas. IPB yang mempunyai daya tampung mahasiswa baru sebesar 2300 kursi ternyata hanya dapat meluluskan 300 mahasiswa baru yang murni nilai SPMB, sisanya dilelang kepada instansi-instansi swasta atau pemerintah yang mampu membeli harga bangku kuliah yang cukup mahal (kantor berita Antara, red).

Dengan demikian, jelas ketika semua universitas telah berubah status menjadi BHP maka yang menjadi sasaran empuk guna membiayai berbagai fasilitas pendidikan adalah mahasiswa. Tidak ada jalan lain bagi semua instansi pendidikan untuk menaikkan biaya pendidikan sehingga masyarakat menengah ke bawah tidak lagi sanggup mengakses pendidikan. Sedangkan menurut seorang pengamat pendidikan dari UGM, Darmaningtyas, berpendapat bahwa konsideran-kkonsideran dalam RUU BHP telah mengalami revisi sebanyak 32 kali dan selalu tidak jelas mengenai apa saja yang akan diatur apakah sistem pendidikan, manajeman pendidikan atau partisipasi masyarakat. Sementara, Dirjen Dikti Fasli Djalal pun menyatakan bahwa jika terjadi ketakutan pada kalangan akademika tentang manajeman perusahaan yang diterapkan pada lembaga pendidikan hanya dapat menjawab, “pada saatnya nanti akan muncul stakeholders berupa orang-orang yang amanah, tidak punya kepentingan pribadi, tidak makan gaji dari sana sehingga membawa hati nurani dan lebih responsif terhadap kondisi dan kebutuhan masyarakat.” (Republika, 2008).

Pertanyaan selanjutnya, apa yang menjamin bahwa akan muncul stakeholder yang mempunyai amanah, tidak makan gaji dari sana serta responsive terhadap kebutuhan masyarakat? TIDAK ADA! Hanya ada satu kesimpulan, negara saat ini tengah melepas tanggung jawabnya untuk menyediakan pendidikan yang layak bagi warganya, sehingga tidak ada jalan lain bagi seluruh rakyat Indonesia baik dari mahasiswa, buruh, kaum miskin kota beserta elemen massa rakyat lainnya untuk menyatukan diri menuntut pendidikan gratis, menolak BHP, mencabut UU Sisdiknas, serta kebijakan lainnya yang berpihak pada kepentingan modal.

Bukan suatu hal yang mustahil untuk mewujudkan pendidikan gratis. Guna membiayai pendidikan gratis, sebenarnya negeri ini mampu. Indonesia mempunyai sumber daya alam yang luar biasa yang sebenarnya bisa diolah guna membiayai kesejahteraan rakyat termasuk pendidikan gratis. LIhat saja pendapatan dari berbagai pertambangan asing di Indonesia seperti ExxonMobil pada tahun 2007 berdasarkan laporannya, yang mencapai angka $ 40,6 billion atau Rp3.723 triliun serta Cevron di tahun 2007 yang mampu memperoleh keuntungan sampai $ 18,7 billion atau Rp 171 triliun. Demikian pula dengan 137 pertambangan asing lainnya di Indonesia yang juga mengeruk keuntungan di negeri berlahan subur ini. Bandingkan dengan keuntungan pemerintah dari hasil tambang yang telah dijual ke asing, tidak pernah menembus angka 3%. Sungguh hal yang ironis, pertambangan tersebut yang semestinya diperuntukkan bagi rakyat telah dijual ke tangan imperialis.

Semestinya, rakyat di negeri ini mampu memperoleh haknya guna menikmati pendidikan gratis serta kesejahteraannya. Intinya, merupakan hal yang seharusnyalah negara ini mengambil alih aset pertambangan asing guna kesejahteraan rakyat. Selain mengambil alih aset pertambangan asing, pembiayaan pendidikan gratis juga bisa diperoleh dari penghapusan utang luar negeri. Tercatat, utang luar negri Indonesia sampai dengan tri wulan ke dua tahun 2007, utang luar negeri Indonesia telah mencapai 132,719 juta dolar AS (Summary base line Studies, Koalisi Anti Utang kerja sama dengan PUSTEK UGM). Utang luar negari tersebut, pada hakikatnya tidak mampu menyejahterakan rakyat dan hanya dinikmati segelintir orang saja, serta justru membebani APBN sehingga harus dihapuskan untuk kesejahteraan rakyat.

Pembiayaan terhadap pendidikan gratis tersebut tentu harus diraih dengan perjuangan rakyat sendiri degan persatuan multisektoral sebab persoalan pendidikan merupakan persoalan seluruh rakyat, bukan persoalan mahasiswa semata. Sudah bukan saatnya lagi menyandarkan diri pada pemerintah atau elit politik yang ada sebab 10 tahun pasca reformasi sudah cukup membuktikan bahwa elit politik saat ini adalah agen imperialis yang tentunya menjadi musuh bersama kita.

Patriotisme Buta

“ Jangan pernah bertanya, apa yang bisa diberikan negara untuk kita, tapi sebaliknya, apa yang bisa kita perbuat untuk negara “

Sebuah doktrin patriotisme paling populer yang dilontarkan oleh John F. Kennedy yang kemudian menjadi sebuah pembenaran bahwa negara adalah segala-galanya dan segala macam kebusukan didalamnya adalah lumrah dalam tiap-tiap negara.

Leo Tolstoy, seorang sastrawan anarkis Rusia, mengartikan patriotisme sebagai sebua prinsip yang membenarkan pelatihan membunuh, suatu usaha yang memerlukan peralatan (senjata) yang lebih canggih untuk membantai sesama daripada untuk memproduksi kebutuhan manusia, seperti pakaian, rumah dan sekolah, atau dia hanyalah usaha yang dapat membawa ‘kebesaran’ dan ‘kesuksesan’, lebih dari usaha-usaha lain seperti kesejahteraan rakyat.

Banyak hal yang bisa dihasilkan oleh patriotisme. Rasisme, fasisme, xenophobia (kebencian atau kecurigaan terhadapa hal-hal yang dianggap asing), primordialisme (mengunggulkan sifat kedaerahan lebih dari yang lain), chauvinisme dan masih banyak lagi. Kecintaan terhadap negara secara membabi buta hanyalah usaha untuk mengalihkan perhatian kita agar kita lupa bahwa masih banyak hak-hak hidup sejahtera dan merdeka yag harus direbut kembali. Manusia juga berhak untuk hidup setara tanpa keterbatasan, tanpa harus dipagari oleh kekonyolan daerah kekuasaan, tanpa harus merasa terasing dengan keawaman dan bebas bergerak diatas bumi yang seharusnya dapat dimiliki dan dimanfaatkan secara adil bersama-sama.

Tapi kenyataan yang ada sekarang adalah setiap bagian dari dunia yang terpecah-pecah ini, dimonopoli oleh sekelompok kecil manusia yang memaksakan kehendaknya sendiri untuk mengatur, menguasai dan memanfaatkan sumber daya alam dengan mengeluarkan aturan bahwa tanah, air dan udara adalah milik negara. Dan setiap orang yang dianggap menguntungkan birokrasi pasti akan mendapatkan lebih dari yang lain.

Jika dengan alasan itu kita diwajibkan untuk meyakini patriotisme, maka sama juga kita memberikan hak kita untuk dieksploitasi. Coba kita berpikir secara logika seperti sepleton pasukan yang di setiap saat harus siap untuk membela kepentingan negara, berangkat ke medan pertempuran dan siap untuk membunuh sesama manusia, padahal di benak mereka sebenarnya yang mereka inginkan adalah sebuah perdamaian.

Memang segala dampak buruk patriotisme terhadap masyarakat sipil terasa tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan penghinaan dan luka yang dirasakan oleh mereka yang bekerja di kemiliteran. Mereka adalah korban yang dijadikan pembela dan penjaga negara, lantas apa yang bisa diberikan petriotisme kepada seorang prajurit? Tahayul kepahlawanankah? Prajurit rendahan sama saja dengan budak. Di mata negara, mereka adalah tumbal yang harus mengorbankan nyawanya. Sehari-harinya mereka harus tunduk kepada pangkat yang lebih tinggi. Kebebasan mereka penuh dengan kebiasaan buruk, bahaya dan kematian. Bahkan menurut seorang jendral, tugas serdadu adalah kesetiaan yang tidak dapat dipertanyakan kepada atasan atau pemerintah, meskipun dia tidak setuju dengan pemerintahannya. Inilah sebuah perkembangan yang aneh, patriotisme telah membuat seorang makhluk yang berpikir menjadi seekor binatang peliharaan.

Disini kita tidak pernah merasakan wajib militer. Kita tidak pernah dipaksa untuk menjadi tentara, tapi keadaan ekonomi yang memaksa calon tentara untuk masuk militer, selain imajinasi kepahlawanan yang tertanam lewat doktrin patriotisme. Karir dalam militer tidak saja menarik dan disegani, tapi juga lebih baik daripada susah-susah cari kerja, tidak bisa makan atau tidur di tempat-tempat yang umum. Karir tersebut setidaknya menghasilkan gaji meski pas-pasan, dapat jatah makan tiga kali sehari dan tersedia tempat untuk tidur. Tapi bagi mereka yang tak ingin harga dirinya terinjak-injak, kebutuhan ekonomi bukan alasan untuk masuk militer. Masih banyak orang-orang yang memiliki sifat mandiri, cinta kebebasan dan berani menanggung resiko tanpa harus mengenakan seragam.

Paham-paham fasis pun dicoba untuk diterapkan dalam pendidikan formal, seperti menentukan cara berpakaian dan berpenampilan yang menurut mereka adalah mencerminkan sifat-sifat patriot, narkoba yang merusak patriotisme atau apalah… Semua dihubung-hubungkan dengan patriotisme. Anak-anak diajarkan taktik militer, perjuangan tentara diagung-agungkan dalam pelajaran sekolah kemudian pikiran anak-anak dibentuk dan disesuaikan dengan tujuan negara. Sungguh bukan kesalahan jika kita menjadi bodoh. Tapi bagaimana sikap kita sekarang untuk memperbaiki kesalahan itu dan bagaimana kita bisa menyadari bahwa yang terpenting untuk hidup dalam sebuah negara adalah tetap mengembangkan pikiran rasional menolak pembodohan-pembodohan yang terus menyerang kita agar kita tetap bisa ditindas dan dikonsumsi oleh pemerintahan, kapitalisme dan kawan-kawannya.

Jika kita dapat mengabaikan patriotisme ini, jika kita telah menyadari bahwa sebuah solidaritas internasional akan lebih berharga dan lebih dibutuhkan daripada paham sempit ini maka kita telah membuka jalan menuju masyarakat yang bebas, otonom dan tanpa penindasan dimana semua nasionalitas berada dibawah naungan persaudaraan universal.

8/11/2008

Alegori Masyarakat Komunis Dalam Komik Smurf

Makhluk biru mungil itu menempati rumahnya yang berbentuk seperti jamur. Mereka hidup bersama di sebuah desa antah-berantah pedalaman hutan Eropa. Mereka hidup rukun dan masing-masing menjalankan fungsinya dengan baik dalam masyarakat. Mereka punya bahasa sendiri yang mengganti kata kerja dan kata sifat dengan identitas bangsa mereka… Smurf!

Komik Belgia karangan Pierre Culliford, populer dengan nama pena Peyo, ini sempat populer di Indonesia pada tahun 1980-an, bahkan pada saat itu sebuah stasiun televisi swasta sempat menayangkan film kartunnya selama beberapa waktu dan sebuah jaringan restoran multinasional mengadopsi mainan figurnya sebagai hadiah menu khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak.

Puluhan tahun sesudah masa kejayaan Smurf di Indonesia berlalu, anak-anak yang dulu mengkonsumsi kisah di Desa Smurf itu beranjak dewasa dan melihat kebobrokan bangsa ini. Tidak seperti generasi sebelumnya yang terhegemoni politik scapegoating Orde Baru, mereka justru jauh lebih akseptif terhadap wacana-wacana gerakan berideologi kiri. Sebagai antitesa atas kegagalan ideologi yang dianut pemerintah despotik, sosok Karl Marx dan Che Guevara hadir bagai pahlawan di tengah mereka.

Bisa jadi, penerimaan kaum muda terhadap ideologi kiri tersebut terjadi karena sejak kecil mereka sudah mendapat gambaran ideal mengenai pola kehidupan masyarakat sosialis melalui komik Smurf.

Komunalisme Desa Smurf

Kehidupan di Desa Smurf telah menggambarkan dengan sempurna praktek sosialisme utopis yang ada di dalam kepala Marx, dengan menggambarkan sebuah komune yang dikelola secara kolektif di bawah pimpinan sang revolusioner tunggal bernama Papa Smurf.

Di desa itu semua Smurf bekerja sesuai profesi pilihannya dengan suka cita dan hak yang sama tanpa harus mengenal sistem mata uang --benar-benar sebuah kondisi yang ideal bagi kaum komunis.

Secara ekonomis, Desa Smurf seperti sebuah pasar yang tertutup, tidak mengenal mata uang, dan semua menjadi milik bersama --properti publik. Setiap Smurf adalah pekerja sekaligus pemilik. Para Smurf menolak ide pasar bebas, karena keserakahan dan ketidakadilannya, dan kepentingan kolektif lebih penting dan lebih berharga daripada kepentingan individual.

Ancaman Kontra Revolusi

Seperti layaknya negara komunis di dunia ini, Desa Smurf pun tidak lepas dari bayang-bayang masalah. Di bagian hutan yang lain hidup Gargamel, seorang perjaka tua jahat yang hidup bersama kucingnya yang setia, Azrael. Gargamel dengan kemampuan sihirnya ingin melebur para Smurf yang dipercayainya sebagai bahan baku untuk membuat emas. Sementara Azrael hanya semata ingin merasakan kenikmatan daging para Smurf.

Dalam hal ini Gargamel dapat digambarkan sebagai negara-negara kapitalis yang melihat segalanya sebagai potensi komodifikasi. Kebetulan pula, sejarah menunjukkan emas adalah salah satu komoditas yang menjadi daya tarik penjelajahan kaum imperialis. Semua yang buruk tentang kapitalisme ada pada dirinya. Ia rakus, kejam, dan hanya mempedulikan kepuasan dirinya sendiri. Dia adalah contoh manusia yang lebih mengutamakan kepentingan individual di atas kepentingan masyarakat yang dihidupinya. Bukan kebetulan juga kalau ternyata ia adalah seorang perjaka tua yang tinggal dalam kastil di tengah hutan dengan hanya ditemani seekor kucing.

Secara metafor, ia ingin menghabisi sosialisme, sama seperti yang dilakukan negara barat terhadap Sovyet dan negara-negara satelitnya selama perang dingin. Kemudian sebagai seorang kapitalis sejati, ia berharap bisa menjadikan segalanya sebagai komoditas --termasuk makhluk hidup lain. Bahkan rencana kedua yang akan dilakukan Gargamel terhadap para Smurf adalah ia ingin mengubah mereka menjadi bongkahan emas secepatnya setelah ia berhasil menangkapnya. Sebagai seorang kapitalis, ia lebih mempedulikan kesejahteraan dirinya sendiri daripada kesetaraan dan keadilan. Sudah menjadi sifat alaminya untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak mungkin.

Kucing peliharaan Gargamel, Azrael, mewakili serikat pekerja mandul di negara-negara yang menganut sistem pasar bebas. Ia tidak pernah mengeluh karena memang ia tidak punya suara. Ia tidak bisa menegoisasikan gajinya --ia makan apa saja yang disuguhkan majikannya. Dan karena tubuhnya berukuran lebih kecil dan tidak lebih kuat dari Gargamel, maka ia juga mewakili kaum proletar, sementara Gargamel mewakili kaum borjuis. Azrael dieksploitasi dan ditindas. Ia mempertaruhkan nyawanya untuk melakukan pekerjaan berbahaya yang tidak bisa dilakukan majikannya dan tidak memiliki kapasitas intelektual untuk mempertanyakan masalah ini, sama seperti para pekerja yang menderita nasib buruk yang sama selama berabad-abad karena kurangnya pendidikan yang didapatkannya, dan ia tidak punya pilihan lain selain menghamba pada majikannya.

Konflik Internal

Nampak usaha untuk menunjukkan betapa idealnya kehidupan kolektif di bawah satu pimpinan ini digambarkan dengan jelas dalam salah satu serinya yang berjudul Smurfuhrer, dimana konflik khas Marxian klasik antara pemerintah yang jahat dan menindas --dimana pemimpin (dan kapitalis) yang rakus mengeksploitasi masyarakat untuk kepentingannya sendiri; dipertentangkan dengan politik egalitarian ideal yang telah di formulasikan oleh Marx-- kesemuanya digambarkan dengan baik.

Di situ diceritakan Papa Smurf harus menempuh perjalanan panjang untuk mencari bahan ramuan ajaibnya. Sepeninggal Papa Smurf, para Smurf yang lain mengadakan pemilihan untuk memilih pengganti Papa Smurf, lalu terpilihlah satu Smurf sebagai pemimpin. Tapi ternyata ia menjadi otoriter dan menimbulkan gelombang pemberontakan dari para Smurf yang lain untuk menggulingkan kekuasaannya.

Hasilnya? Desa Smurf itu pun jadi rusak akibat insureksi yang di jalankan milisi pemberontak itu, dan desa yang utopis itu baru pulih kembali setelah Papa Smurf pulang di saat pertarungan sengit antara para Smurf sedang terjadi. Dalam hal ini, Papa Smurf, sebagaimana juga dengan Marx, telah mewakili bentuk Marxisme yang ideal dengan menampilkan gambaran ketergantungan masyarakat yang butuh sosok pahlawan pelopor (avant garde) revolusioner yang bisa dijadikan panutan dan pemimpin yang maha hebat.

Representasi Penokohan

Secara visual pun ditemukan kemiripan antara karakter penghuni Desa Smurf dengan tokoh ideologis mazhab kiri di dunia nyata. Figur pemimpin desa, Papa Smurf, dengan jenggotnya yang lebat akan dengan mudah mengingatkan pada sosok Karl Marx. Jangan lupa pula, Papa Smurf adalah satu-satunya penghuni Desa Smurf yang menggunakan pakaian bewarna merah –warna tradisional kaum sosialis.

Satu lagi karakter dalam Desa Smurf yang memiliki kemiripan tersebut adalah Smurf Kacamata. Kacamata bulat yang dikenakannya mengingatkan pada sosok Leon Trotsky, salah seorang pentolan partai Bolshevyk yang terjegal setelah Stalin mengambil alih tampuk kekuasaan. Dalam kisahnya digambarkan Smurf Kacamata sebagai seekor Smurf dengan kecerdasan yang hampir menyamai Papa Smurf. Namun sikapnya yang sok tau dan sombong membuatnya sering jadi bulan-bulanan dan bahan cemoohan para penghuni Desa Smurf lain, sama seperti nasib Trotsky yang kemudian mati terbunuh dengan alat pemecah es dalam pengasingannya di Meksiko.

S.M.U.R.F?

Menurut pencipta aslinya komik ini berjudul Les Schtroumpfs yang berasal dari bahasa Prancis. Namun kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa sebagai Smurf. Apa arti kata “Smurf” itu? Para fans, mungkin sebagian di antaranya adalah penganut teori konspirasi, mempunyai dua dugaan. Satu, nama S.M.U.R.F. adalah kependekan dari Socialist Men Under Red Father. Dua, kepanjangan dari nama S.M.U.R.F. adalah Sovyet Militants Under Red Faction.

Medium adalah Pesan

Sekurang-kurangnya, Peyo berhasil menggambarkan teori Marxisme dalam bentuk kisah dongeng yang alegoris. Jauh dari gagal, komik Smurf pada akhirnya telah berhasil menyebarkan pesan dengan baik, dengan bias kehidupan nyata yang kita alami, jauh lebih baik daripada yang pernah literatur fantasi lainnya coba lakukan. Boleh saja sebagian besar ide dalam komik ini terinspirasi ideal Marxisme utopis, karena, walaupun ia tidak menggambarkan dunia secara nyata juga apa adanya dengan segala kompleksitasnya, kita masih bisa membayangkannya.

Sekarang mungkin kita bisa tahu kenapa kaum muda bisa lebih menerima gagasan utopis dari generasi sebelumnya.

Pengkhianatan Matahari Pagi (Disharmony Of Humanity)

Pernahkah kita belajar pada...

Eksistensi yang mencoba mengabaikan nurani
Kolaborasi duniawi yang selalu menghakimi massa
Arogansi yang tak pernah jera untuk menjajah cinta
Dan siluet insan gadungan yang membunuh sayang

Sanggupkah kita takkan lupa untuk menuntut pada...

Angkara yang memadamkan nyala api kedamaian
Munafik yang mengotori kesucian sperma
Fatamorgana yang menenggelamkan panorama
Dan teatrikal yang mengangkangi firman sangkakala

Ataukah kita hanya sekedar berhenti berharap pada...
Untaian kalam hati yang terdiam bisu menangisi parodi basi
Dan ratapan sunyi yang merengek tiada pasti

Apakah salah jika nurani menuntut ?
Apakah dosa jika ia menari menantang barisan belati ?
Padahal nurani itu rasa dan rasa adalah anugerah
Yang selayaknya disajikan untuk sesama

Karena itu cobalah sejenak untuk menikmati...

" Oh betapa agungnya dunia kita
Di hadapan barisan nisan yang dikomando matahari pagi
Rancangan realita yang serupa alam mimpi
Berjajar rapi dalam etalase tirani mendekonstruksi ambisi
Menghabisi semua nyawa untuk selembar kontrak asuransi
Dengan janji surga yang diakumulasi oleh pahala bertubi-tubi
Serupa berhala konstitusi yang saling berebut jatah kursi
Membuat kebebasan hanya berkibar dibalik layar kaca televisi
Dan monumen cinta hanya akan berdiri setelah diimingi sederetan nafsu konsumsi
Hingga puncak kesabaran, tingkat keimanan dan barikade impian
Menanti ajal untuk hancur berantakan ! "

Cukup sudah !
Buyarkan lamunan sejenak untuk menabur semangat...

Sekarang cobalah untuk pasrah
Dan biarkan tubuhmu ditelanjangi oleh angkuhnya bayangan malam
Jangan beri kesempatan pada gairah bulan dan bintang
Karena mereka hanyalah biduan yang bersinar diantara kelam
Jangan berharap angin berhenti berdansa
Sebelum ia menjumpaimu untuk meniupkan asa
Karena air susu tidak akan dibalas dengan air tuba
Tapi dengan harapan yang akan terbakar
Melahirkan reinkarnasi rasa untuk mengebiri naluri

Dan karena matahari terlalu pagi untuk mengkhianati
Maka jangan izinkan dirimu untuk mati terlalu dini...

(Malang, 1 Agt '08)

Hymne Pembakar Nalar

" Wahai kalian polisi-polisi moral yang mengatasnamakan Tuhan
Hipokrit sejati yang memupuk kebodohan
Merasa lebih suci dan paling benar
Membakukan persepsi menghalalkan kekerasan
Ingatlah bahwa dunia ini tidak berada di balik telapak tangan kalian...! "

Konspirasi para gerombolan institusi di balik argumen basi
Yang membeli takdir dan memperlakukan hidup seperti tahanan
Seakan sang kematian hanya dihargai oleh lembaran royalti
Merancang alam bawah sadar dengan ancaman golok dan senapan
Bersembunyi dibalik mitos yang kalian agungkan
Membawa kebenaran layaknya Nabi dengan aroma kesucian
Jika yang kalian inginkan adalah konflik atas nama kebanggaan
Jika kalian pikir ide kami dapat kalian berangus dan penjarakan
Maka tunggulah teriakan kami akan menembus kerongkongan kalian !

Lakukan apapun termasuk menjadi Tuhan
Kami akan berdiri di sini, tak sendiri, hingga nafas penghabisan
Dan sebelum rima pemberontakan tercatat di pajangan nisan kalian
Maka berhentilah mengancam kebebasan kami !

Kalian serupa chauvinis Israel yang menodai mimpi bocah Palestina
Dengan serombongan fundamentalis super-arogansi tanpa dialektika
Labelisasi yang membatasi surga dan neraka
Hitam-putih dunia yang kalian ratakan dengan parang dan dakwah
Genangan darah, amarah dan sumpah serapah
Membela rezim dengan komando barbar
Bicara tentang aturan, nilai dan moral
Nyatanya kalian cuma omong kosong besar !

Karena dunia tidak lagi berakal dan nalar seakan menjadi gombal
Maka bagi para pelaknat rasional yang mendambakan tumbal
Bersiaplah kalian menuai badai di hari akhir menjelang ajal
Karena hari ini, esok atau nanti
Kami pasti akan berdiri dengan tangan terkepal !

(Gresik, 3 Agt '07)