8/30/2008

RUU BHP : Bentuk Komersialisasi Dunia Pendidikan

Hakikat pendidikan sebagai alat untuk mencerdaskan manusia sehingga ia mampu membebaskan dirinya dari segala bentuk penindasan saat ini semakin tak bisa teraih oleh kaum marjinal, yakni mereka yang termiskinkan oleh sistem kapitalisme dengan wajah barunya, Neoliberalisme. Pendidikan hendaknya bisa dinikmati oleh seluruh manusia di muka bumi demikian juga halnya dengan Bangsa Indonesia yang dengan tegas disebutkan dalam Preambule UUD 1945. Akan tetapi di bawah kebijakan neoliberalisme dalam dunia pendidikan, yakni privatisasi pendidikan menjadi hal yang mustahil.

Privatisasi pendidikan bisa ditunjukkan dengan perubahan status perguruan tinggi negeri sejak tahun 1999, bersamaan dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 61/Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum. Dari 4 kampus percobaan (UI, UGM, ITB, dan IPB) kemudian bertambah 8 tahun 2000 yaitu UPI Bandung, Univ. Airlangga (Unair), Univ. Diponegoro (Undip), dan Univ. Sumatra Utara (USU), dan untuk tahun 2007 selanjutnya jumlah perguruan tinggi negeri yang akan berubah status menjadi BHMN semakin bertambah. Intinya, perubahan status itu tak lebih dari penghalusan privatisasi dan kapitalisasi perguruan tinggi negeri. Fakta tersebut jelas menunjukkan ketertundukan pemerintah terhadap komersialisasi pendidikan. Akibatnya, pendidikan semakin mahal dan hanya kelas menengah ke atas yang mampu mengakses pendidikan, apa lagi sampai ke tingkat perguruan tinggi.

Landasan dibentuknya RUU BHP yang kini masih menjadi perdebatan adalah pasal 53 UU Sisdiknas yang mengatakan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan, yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik, berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Dalam pasal tersebut dikatakan pula bahwa ketentuan mengenai badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri yang kini sedang dibahas. Tak jauh beda dengan perubahan status perguruan tinggi negri menjadi BHMN, BHP tak lebih dari bentuk privatisasi yang dipehalus dengan menggunakan prinsip nirlaba dengan dalih untuk membendung komersialisasi atau kapitalisasi pendidikan.

Benarkah demikian? Ternyata fakta justru berbicara lain, pemerintah telah mengeluarkan Perpres no 76 dan 77 yang merupakan turunan dari UU Penanaman Modal Asing. Dalam perpres itu dengan jelas dinyatakan bahwa penanaman modal asing diperbolehkan sampai sebesar 40% bagi sektor pendidikan. Sementara untuk menuju universitas yang berstatus BHP, universitas harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
1. Mahasiswa
2. Matakuliah
3. Manajemen
4. Sumber daya manusia
5. Keuangan
6. Perolehan pendapatan
7. Administrasi yang profesional, menurut HELTS 2003-2010

Dari tujuh butir persayaratan di atas jelas belum bisa dipenuhi oleh universitas-universitas di Indonesia, bahkan universitas sebesar UI atau UGM sekalipun masih menjadikan mahasiswa sebagai donatur bagi pendapatan universitas. IPB yang mempunyai daya tampung mahasiswa baru sebesar 2300 kursi ternyata hanya dapat meluluskan 300 mahasiswa baru yang murni nilai SPMB, sisanya dilelang kepada instansi-instansi swasta atau pemerintah yang mampu membeli harga bangku kuliah yang cukup mahal (kantor berita Antara, red).

Dengan demikian, jelas ketika semua universitas telah berubah status menjadi BHP maka yang menjadi sasaran empuk guna membiayai berbagai fasilitas pendidikan adalah mahasiswa. Tidak ada jalan lain bagi semua instansi pendidikan untuk menaikkan biaya pendidikan sehingga masyarakat menengah ke bawah tidak lagi sanggup mengakses pendidikan. Sedangkan menurut seorang pengamat pendidikan dari UGM, Darmaningtyas, berpendapat bahwa konsideran-kkonsideran dalam RUU BHP telah mengalami revisi sebanyak 32 kali dan selalu tidak jelas mengenai apa saja yang akan diatur apakah sistem pendidikan, manajeman pendidikan atau partisipasi masyarakat. Sementara, Dirjen Dikti Fasli Djalal pun menyatakan bahwa jika terjadi ketakutan pada kalangan akademika tentang manajeman perusahaan yang diterapkan pada lembaga pendidikan hanya dapat menjawab, “pada saatnya nanti akan muncul stakeholders berupa orang-orang yang amanah, tidak punya kepentingan pribadi, tidak makan gaji dari sana sehingga membawa hati nurani dan lebih responsif terhadap kondisi dan kebutuhan masyarakat.” (Republika, 2008).

Pertanyaan selanjutnya, apa yang menjamin bahwa akan muncul stakeholder yang mempunyai amanah, tidak makan gaji dari sana serta responsive terhadap kebutuhan masyarakat? TIDAK ADA! Hanya ada satu kesimpulan, negara saat ini tengah melepas tanggung jawabnya untuk menyediakan pendidikan yang layak bagi warganya, sehingga tidak ada jalan lain bagi seluruh rakyat Indonesia baik dari mahasiswa, buruh, kaum miskin kota beserta elemen massa rakyat lainnya untuk menyatukan diri menuntut pendidikan gratis, menolak BHP, mencabut UU Sisdiknas, serta kebijakan lainnya yang berpihak pada kepentingan modal.

Bukan suatu hal yang mustahil untuk mewujudkan pendidikan gratis. Guna membiayai pendidikan gratis, sebenarnya negeri ini mampu. Indonesia mempunyai sumber daya alam yang luar biasa yang sebenarnya bisa diolah guna membiayai kesejahteraan rakyat termasuk pendidikan gratis. LIhat saja pendapatan dari berbagai pertambangan asing di Indonesia seperti ExxonMobil pada tahun 2007 berdasarkan laporannya, yang mencapai angka $ 40,6 billion atau Rp3.723 triliun serta Cevron di tahun 2007 yang mampu memperoleh keuntungan sampai $ 18,7 billion atau Rp 171 triliun. Demikian pula dengan 137 pertambangan asing lainnya di Indonesia yang juga mengeruk keuntungan di negeri berlahan subur ini. Bandingkan dengan keuntungan pemerintah dari hasil tambang yang telah dijual ke asing, tidak pernah menembus angka 3%. Sungguh hal yang ironis, pertambangan tersebut yang semestinya diperuntukkan bagi rakyat telah dijual ke tangan imperialis.

Semestinya, rakyat di negeri ini mampu memperoleh haknya guna menikmati pendidikan gratis serta kesejahteraannya. Intinya, merupakan hal yang seharusnyalah negara ini mengambil alih aset pertambangan asing guna kesejahteraan rakyat. Selain mengambil alih aset pertambangan asing, pembiayaan pendidikan gratis juga bisa diperoleh dari penghapusan utang luar negeri. Tercatat, utang luar negri Indonesia sampai dengan tri wulan ke dua tahun 2007, utang luar negeri Indonesia telah mencapai 132,719 juta dolar AS (Summary base line Studies, Koalisi Anti Utang kerja sama dengan PUSTEK UGM). Utang luar negari tersebut, pada hakikatnya tidak mampu menyejahterakan rakyat dan hanya dinikmati segelintir orang saja, serta justru membebani APBN sehingga harus dihapuskan untuk kesejahteraan rakyat.

Pembiayaan terhadap pendidikan gratis tersebut tentu harus diraih dengan perjuangan rakyat sendiri degan persatuan multisektoral sebab persoalan pendidikan merupakan persoalan seluruh rakyat, bukan persoalan mahasiswa semata. Sudah bukan saatnya lagi menyandarkan diri pada pemerintah atau elit politik yang ada sebab 10 tahun pasca reformasi sudah cukup membuktikan bahwa elit politik saat ini adalah agen imperialis yang tentunya menjadi musuh bersama kita.

No comments: