8/30/2008

Patriotisme Buta

“ Jangan pernah bertanya, apa yang bisa diberikan negara untuk kita, tapi sebaliknya, apa yang bisa kita perbuat untuk negara “

Sebuah doktrin patriotisme paling populer yang dilontarkan oleh John F. Kennedy yang kemudian menjadi sebuah pembenaran bahwa negara adalah segala-galanya dan segala macam kebusukan didalamnya adalah lumrah dalam tiap-tiap negara.

Leo Tolstoy, seorang sastrawan anarkis Rusia, mengartikan patriotisme sebagai sebua prinsip yang membenarkan pelatihan membunuh, suatu usaha yang memerlukan peralatan (senjata) yang lebih canggih untuk membantai sesama daripada untuk memproduksi kebutuhan manusia, seperti pakaian, rumah dan sekolah, atau dia hanyalah usaha yang dapat membawa ‘kebesaran’ dan ‘kesuksesan’, lebih dari usaha-usaha lain seperti kesejahteraan rakyat.

Banyak hal yang bisa dihasilkan oleh patriotisme. Rasisme, fasisme, xenophobia (kebencian atau kecurigaan terhadapa hal-hal yang dianggap asing), primordialisme (mengunggulkan sifat kedaerahan lebih dari yang lain), chauvinisme dan masih banyak lagi. Kecintaan terhadap negara secara membabi buta hanyalah usaha untuk mengalihkan perhatian kita agar kita lupa bahwa masih banyak hak-hak hidup sejahtera dan merdeka yag harus direbut kembali. Manusia juga berhak untuk hidup setara tanpa keterbatasan, tanpa harus dipagari oleh kekonyolan daerah kekuasaan, tanpa harus merasa terasing dengan keawaman dan bebas bergerak diatas bumi yang seharusnya dapat dimiliki dan dimanfaatkan secara adil bersama-sama.

Tapi kenyataan yang ada sekarang adalah setiap bagian dari dunia yang terpecah-pecah ini, dimonopoli oleh sekelompok kecil manusia yang memaksakan kehendaknya sendiri untuk mengatur, menguasai dan memanfaatkan sumber daya alam dengan mengeluarkan aturan bahwa tanah, air dan udara adalah milik negara. Dan setiap orang yang dianggap menguntungkan birokrasi pasti akan mendapatkan lebih dari yang lain.

Jika dengan alasan itu kita diwajibkan untuk meyakini patriotisme, maka sama juga kita memberikan hak kita untuk dieksploitasi. Coba kita berpikir secara logika seperti sepleton pasukan yang di setiap saat harus siap untuk membela kepentingan negara, berangkat ke medan pertempuran dan siap untuk membunuh sesama manusia, padahal di benak mereka sebenarnya yang mereka inginkan adalah sebuah perdamaian.

Memang segala dampak buruk patriotisme terhadap masyarakat sipil terasa tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan penghinaan dan luka yang dirasakan oleh mereka yang bekerja di kemiliteran. Mereka adalah korban yang dijadikan pembela dan penjaga negara, lantas apa yang bisa diberikan petriotisme kepada seorang prajurit? Tahayul kepahlawanankah? Prajurit rendahan sama saja dengan budak. Di mata negara, mereka adalah tumbal yang harus mengorbankan nyawanya. Sehari-harinya mereka harus tunduk kepada pangkat yang lebih tinggi. Kebebasan mereka penuh dengan kebiasaan buruk, bahaya dan kematian. Bahkan menurut seorang jendral, tugas serdadu adalah kesetiaan yang tidak dapat dipertanyakan kepada atasan atau pemerintah, meskipun dia tidak setuju dengan pemerintahannya. Inilah sebuah perkembangan yang aneh, patriotisme telah membuat seorang makhluk yang berpikir menjadi seekor binatang peliharaan.

Disini kita tidak pernah merasakan wajib militer. Kita tidak pernah dipaksa untuk menjadi tentara, tapi keadaan ekonomi yang memaksa calon tentara untuk masuk militer, selain imajinasi kepahlawanan yang tertanam lewat doktrin patriotisme. Karir dalam militer tidak saja menarik dan disegani, tapi juga lebih baik daripada susah-susah cari kerja, tidak bisa makan atau tidur di tempat-tempat yang umum. Karir tersebut setidaknya menghasilkan gaji meski pas-pasan, dapat jatah makan tiga kali sehari dan tersedia tempat untuk tidur. Tapi bagi mereka yang tak ingin harga dirinya terinjak-injak, kebutuhan ekonomi bukan alasan untuk masuk militer. Masih banyak orang-orang yang memiliki sifat mandiri, cinta kebebasan dan berani menanggung resiko tanpa harus mengenakan seragam.

Paham-paham fasis pun dicoba untuk diterapkan dalam pendidikan formal, seperti menentukan cara berpakaian dan berpenampilan yang menurut mereka adalah mencerminkan sifat-sifat patriot, narkoba yang merusak patriotisme atau apalah… Semua dihubung-hubungkan dengan patriotisme. Anak-anak diajarkan taktik militer, perjuangan tentara diagung-agungkan dalam pelajaran sekolah kemudian pikiran anak-anak dibentuk dan disesuaikan dengan tujuan negara. Sungguh bukan kesalahan jika kita menjadi bodoh. Tapi bagaimana sikap kita sekarang untuk memperbaiki kesalahan itu dan bagaimana kita bisa menyadari bahwa yang terpenting untuk hidup dalam sebuah negara adalah tetap mengembangkan pikiran rasional menolak pembodohan-pembodohan yang terus menyerang kita agar kita tetap bisa ditindas dan dikonsumsi oleh pemerintahan, kapitalisme dan kawan-kawannya.

Jika kita dapat mengabaikan patriotisme ini, jika kita telah menyadari bahwa sebuah solidaritas internasional akan lebih berharga dan lebih dibutuhkan daripada paham sempit ini maka kita telah membuka jalan menuju masyarakat yang bebas, otonom dan tanpa penindasan dimana semua nasionalitas berada dibawah naungan persaudaraan universal.

No comments: