8/30/2008

Mahasiswa di Era Kapitalisme dan Hedonisme

Menjadi Mahasiswa : Kuliah Sebagai Obsesi
Memasuki perguruan tinggi merupakan cita-cita setiap remaja. Minat memasuki perguruan tinggi rata-rata meningkat dari tahun ke tahun. Ini membuktikan bahwa melanjutkan pendidikan tidak hanya berhenti pada tingkat SMU saja.Bahkan mulai banyak orang yang menyadari bahwa pendidikan adalah hakikat manusia dalam kehidupan, pendidikan seumur hidup (long-life education).

Bagi mereka, memasuki perguruan tinggi diiringi berbagai macam obsesi. Obsesi mencari ilmu dan pengetahuan, bisa jadi, alasan yang telah usang. Alasan utama seringkali adalah memudahkan mencari pekerjaan. Pendidikan adalah sarana yang membantu memudahkan mobilitas sosial. Dengan kuliah diharapkan akan mendapatkan pekerjaan yang berbeda dengan mereka yang hanya lulusan sekolah (SD, SMP atau SMU). Pada kenyataannya obsesi semacam itu kian hari semakin jauh dari benak para remaja yang hendak memasuki perguruan tinggi – selanjutnya akan disebut kampus.

Dalam budaya yang telah berubah ini, yang dimaksud mobilitas sosial bukan berarti berkaitan dengan masalah (mendapatkan) pekerjaan, posisi atau jabatan yang mendatangkan uang. Dalam iklim budaya kapitalistik sekarang ini, mobilitas lebih banyak bermakna perubahan gaya hidup. Menjadi mahasiswa adalah soal status yang mendefinisikan gaya hidup kaum muda yang dicirikan sebagai kaum yang bergaya hidup berbeda dibanding kaum lainnya. Gaya hidup mahasiswa adalah gaya hidup kelas menengah – bahkan juga gaya hidup kelas atas, yang dicirikan dengan kemampuannya mengonsumsi produk dan gaya hidup modern.

Apalagi muncul sebuah tendensi dimana mahasiswa tidak lagi bercitra sebagai kaum intelektual, pembela rakyat atau aktivis perubahan (agent of change). Posisi dan peran insan kampus ini mengalami titik kritis dan dipandang oleh masyarakat semakin tak jelas lagi.

Mengingkari Sejarah
Sejarah gerakan mahasiswa adalah sejarah pembebasan rakyat, sejarah perubahan bagi terciptanya keadilan sosial. Di Indonesia, gerakan mahasiswa lahir atas kondisi historis untuk menjawab kondisi penindasan bangsa.

Budaya mahasiswa saat ini berbeda dengan mahasiswa zaman dulu: malas membaca dan belajar, kecuali buku teks dengan maksud mengejar kepentingan akademik pragmatis, supaya dapat nilai formal yang baik. Kebanyakan dari mereka, dalam budaya hedonistik kapitalisme, menghambur-hamburkan uang orangtua (hasil keberhasilan status sosial dalam logika penindasan kapitalisme) dan jarang yang berpikir susah-susah. Waktu mereka hanya untuk bersenang-senang dan jelas seperti binatang yang bergerak dan hidup berdasarkan insting (kehendak). Mirip binatang, mengendus-endus produk di mall, memenuhi insting spesies makhluk (seks) dengan “pacar”, diperbudak dengan pasangannya hanya untuk menghabiskan waktu dengan “bercinta” dan membuang-buang waktu bagi cinta universal (untuk kehidupan sosial yang adil).

Pada perkembangannya, hakikat mahasiswa sebagai “siswa” yang “maha” justru terbalik: Mereka, sebagai bagian dari budaya konsumen dan “anak modal”, justru tidak hadir sebagai golongan sosial yang mampu berpikir kritis-filosofis dan tidak mampu menjadikan diri sebagai manusia yang mempertanyakan segala sesuatu (realitas sosial) untuk kemudian menjadi kekuatan perubahan bagi struktur sosial yang adil. Tentu saja hal ini menyimpang bukan hanya secara hakikat eksistensial manusia terdidik yang disebut mahasiswa, tetapi juga secara konteks sejarah gerakan mahasiswa itu sendiri.

Mahasiswa Sebagai Tumbal Kapitalisme Pasar ?
Sekarang ini, mahasiswa diasingkan dari realitas sosial dan dari kebiasaan berpikir kritis serta berilmu pengetahuan baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Dalam hal ini, kapitalisme menyerang dan membentuk mahasiswa agar ia tak lagi dapat menjadi “mahasiswa sejati”, yang belajar sungguh-sungguh dan “haus pengetahuan”, lalu beranjak membela kebenaran dan keadilan. Dengan demikian , semakin mahasiswa jauh dari ilmu pengetahuan dan aksi keberpihakan, maka upaya yang dilakukan kapitalisme untuk mempertahankan penindasannya akan berhasil.

Dari sini kita melihat bahwa munculnya gaya hidup “anti-ilmiah” dan “anti-aksi advokasi di kalangan mahasiswa bukan muncul dengan sendirinya tapi memang sengaja dibentuk. Jangan menyalahkan mahasiswa, tapi juga jangan memanjakannya. Di sisi lain, meskipun tidak berlaku pada semua mahasiswa (atau kaum muda), kapitalisme (terutama di sektor pendidikan) juga menindas secara ekonomi. Bukti penindasan tersebut adalah munculnya aksi-aksi yang masih saja terjadi soal isu mahalnya pendidikan, aksi menolak kenaikan SPP dan pungutan liar, aksi menolak komersialisasi kampus hingga menuntut pendidikan gratis, ilmiah dan demokratis. Selain itu, pendidikan kapitalis itu sendiri telah mendiskriminasi kalangan muda dalam meraih pendidikan tinggi. Berapa banyak lulusan sekolah menengah atas yang tak bisa menikmati pendidikan tinggi. Lagi-lagi, karena pendidikan mahal dan terkomersilkan, sehingga hanya anak orang kaya saja yang boleh belajar di perguruan tinggi.

Berdasarkan desain para penumpuk modal, terutama yang berlevel internasional, diharapkan kampus tidak menjadi penghalang bagi usahanya dalam mengakumulasi kapital (modal). Bahkan generasi muda dan mahasiswa dicetak untuk meraih profesi-profesi yang kelak akan mengabdikan diri pada penumpuk modal. Peran negara juga diharapkan sesuai dengan kepentingan mereka. Untuk menghilangkan kemungkinan bagi terciptanya mahasiswa-mahasiswa yang kritis dan menentang kapitalisme, negara diharuskan melakukan sistem pendidikan dan kebijaksanaan kampus yang tidak memungkinkan para mahasiswa untuk memulai perubahan. Tentu saja usaha ini juga sejalan dengan kepentingan birokrasi-birokrasi kampus yang diuntungkan jika mahasiswanya bodoh-bodoh. Kalau bisa, dibuat bagaimana mahasiswa hanya dieksploitasi dari pembayaran-pembayaran dana pendidikan yang akan menguntungkan pihak-pihak yang berkaitan. Sementara tidak pernah kemudian budaya akademis yang kritis itu digagas,

Kegiatan-kegiatan mahasiswa yang diapresiasi adalah kegiatan yang tidak memungkinkan mahasiswa berpikir, apalagi kritis dan melawan kesewenang-wenangan kampus dan “negara yang terkapitalkan”. Kita bisa lihat, kegiatan-kegiatan yang bersimbiosis dengan suatu faksi kapital akan selalu menjadi besar dan digandrungi oleh banyak mahasiswa ketimbang kegiatan yang memungkinkan mahasiswa kritis. Bola basket, cheerleaders, parade musik, paduan suara dan lain-lainnya akan selalu mendapat biaya yang besar terutama dari kekuatan kapital, dan dalam banyak kampus lebih didukung oleh pihak birokrasi. Kegiatan yang memungkinkan mahasiswa menjadi objek pemuja artis, yang membuat mahasiswa tidak bisa berpikir selain memuaskan budaya hedonisme, akan lebih melanggengkan sistem kapitalisme dan penindasannya. Sementara kegiatan-kegiatan seminar, diskusi dan ekspresi mahasiswa atas ketimpangan sosial berupa aksi akan dihadapkan dengan birokrasi yang njelimet, bahkan tidak jarang juga ditolak mentah-mentah.

Intinya, mahasiswa dan calon mahasiswa (remaja dan kaum muda) di negeri ini mengalami penindasan. Disini terdapat konstruksi gaya hidup dan budaya, meskipun bukan kontradiksi pokok, namun merupakan pintu masuk bagi kapitalis untuk bertahan dan melakukan penindasan. Kalau kaum muda bodoh dan tanpa pendidikan, kalau nalar kritis ditumpulkan dan pengetahuan dijauhkan, siapa pun akan menjadi rombongan makhluk idiot dan ‘penurut’ yang dengan begitu mudahnya diarahkan, dibentuk, dikuasai dan ditindas demi kepentingan segelintir elite (modal) yang memegang kekuasaan. Tak ada yang menyangkal, mahasiswa berada dalam kondisi dipertaruhkan.

3 comments:

Anonymous said...

Manusia telah dijebak dalam ruang realitas yang dianggapnya nyata,padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa. Citra lebih meyakinkan ketimbang fakta. Dan mimpi lebih dipercaya ketimbang kenyataan sehari-hari. Ini yang menyebabkan terjadinya keterpisahan hidup dengan yang benar-benar hidup itu sendiri. Hampir semua relung-relung kehidupan telah dimasuki sendi-sendi kapitalisme. Pernah mendengar istilah pabrik sosial (marxis otonomis)?--merujuk pada masyarakat kapitalis dimana kerja telah melampaui
pabrik dan kantor, dimana seluruh aspek kehidupan didominasi oleh kerja untuk
mereproduksi kapital, begitu juga kehidupan para pelajar ditingkat universitas. Makna proletar sampai sekarang selalu saja dimaknai sempit, utamanya oleh kelompok-kelompok kiri. Mampukah kita membawa makna proletariat ini lebih luas, bukan hanya definisi yang sempit? Orang-orang yang telah kehilangan kontrolnya atas hidupnya sendiri--tidak terkecuali adalah proletariat. Bagaimana dengan pelajar di universitas?

Rae said...

hakekat hidup itu adalah belajar, bukan bersekolah atau kuliah.

dan sudah terbukti bahwa sekolah dan kampus adalah produk-produk feodal.

http://rumputpagi.blogspot.com/2008/04/memaknai-kembali-pendidikan.html

Anonymous said...

bner banget mas. Terbukti bahwa kampus menjadi ajang penindasan budaya kritis mahasiswa.


di kampus saya saja, mau upacara sumpah pemuda dilarang! kampus macam apa coba?

tau gitu mendingan ga usah kuliah disana sekalian deh...