Gencarnya isu perubahan iklim yang ditampilkan media massa telah membuat banyak pihak, termasuk Bank Dunia, ikut menyuarakan keprihatinannya terhadap isu ini. Salah satu bentuk keprihatinan tersebut adalah gigihnya lembaga keuangan internasional ini mendukung proyek pengurangan emisi gas rumah kaca melalui pencegahan deforestasi dan perusakan hutan, yang sering disebut sebagai proyek Reduced Emission from Deforestation and Degradation (REDD), di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Ide dasar proyek REDD adalah negara-negara utara membayar negara-negara selatan untuk mengurangi penggundulan hutan dalam wilayah mereka. Adapun kompensasinya ialah dengan memberikan bantuan keuangan untuk kepentingan tersebut. Beberapa pihak telah mengusulkan agar pendanaan proyek ini diambilkan dari kombinasi dana publik (Bantuan Pembangunan Resmi/ODA) dan pasar karbon.
Sejak 2006 hingga awal 2007, Bank Dunia mengembangkan usul skema pendanaan baru yang sangat besar untuk membiayai proyek-proyek pada sektor kehutanan di negara berkembang. Lembaga keuangan ini berencana menggunakan skema baru itu untuk mengimplementasikan strategi kehutanan dengan penekanan kuat pada pendanaan yang terkait dengan isu perubahan iklim.
Bahkan dalam proposal Global Forest Alliance (GFA), Bank Dunia mentargetkan pada 2015 terdapat 50 juta hektare kawasan lindung baru dan peningkatan kapasitas dari Departemen Kehutanan pusat untuk melindungi dan mengelola area-area tersebut. Bila tidak berpikir secara kritis, besarnya nilai proyek yang ditawarkan dalam proyek REDD itu mampu membuat kita terbuai dan melupakan dosa-dosa ekologi yang pernah dibuat Bank Dunia sebagai pendukung utama proyek ini. Untuk itu, tidak ada salahnya bila kita sejenak menoleh ke belakang guna menelusuri rekam jejak proyek-proyek pembangunan Bank Dunia beserta dampak sosial dan ekologinya.
Di Brasil, misalnya, pada 1982-1985 Bank Dunia memberikan dukungan kepada proyek pemindahan penduduk besar-besaran atas nama pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang lebih dikenal sebagai proyek Polonoroeste, yang di Indonesia lebih dikenal sebagai proyek transmigrasi. Dukungan keuangan pada proyek ini telah menghasilkan sebuah bencana ekologi yang dahsyat, bahkan Bank Dunia juga mengakui hal itu. Betapa tidak, proyek ini telah mendorong terjadinya konversi besar-besaran kawasan hutan menjadi lahan pertanian, kawasan komersial, dan pertambangan (Ecology Law, Bruce Rich).
Akibatnya, kawasan hutan di daerah itu mengalami degradasi yang cukup parah. Pada 1982 penggundulan hutan telah mencapai 4 persen dan pada 1985 meningkat menjadi 11 persen. Sementara itu, pada 1987 hampir seluruh hutan di kawasan itu telah lenyap. Bahkan pada tahun yang sama sebuah gambar citra satelit menunjukkan terdapat 6.000 titik api pembakaran untuk membuka hutan dari seluruh kawasan hutan Amazon.
Celakanya, proyek semacam itu juga dilakukan oleh Bank Dunia di Indonesia. Lembaga ini merupakan pihak yang pertama kali terlibat dalam proyek transmigrasi di Indonesia pada 1974. Sama seperti proyek Polonoroeste, proyek ini juga menimbulkan kerusakan dan penggundulan hutan besar-besaran.
Pulau Sulawesi dan Sumatera adalah kawasan yang paling parah menderita kerugian ekologi akibat proyek ini. Di Sumatera, sekitar 2,3 juta hektare tanah yang semula merupakan hutan hujan alam telah menjadi lahan kritis. Adapun di Sulawesi, 30 persen wilayah hutan yang terkena proyek transmigrasi ini berubah menjadi lahan kritis (Lord of Property: The Power, Prestige, and Corruption of the International Aid Business, Graham Hancock, 1989).
Ironisnya, meskipun gencar mendanai proyek rehabilitasi hutan dengan mengatasnamakan perlindungan bumi dari bencana perubahan iklim, lembaga ini juga gencar mendanai proyek-proyek pada sektor energi fosil sebagai penyebab utama terjadinya perubahan iklim. Pada periode 1992 hingga 2004, misalnya, grup Bank Dunia justru mengucurkan US$ 28 miliar dananya untuk membiayai proyek yang terkait dengan energi fosil. Sedangkan pada tahun fiskal 2005, proporsi pendanaan proyek energi terbarukan kurang-lebih hanya 5 persen dari seluruh pendanaan dari Bank Dunia untuk proyek energi.
Melihat rekam jejak proyek Bank Dunia tersebut, timbullah sebuah pertanyaan apakah proyek REDD tersebut sengaja digulirkan sekadar sebagai proyek pencuci dosa ekologi dari Bank Dunia dan negara-negara kaya lainnya di masa lalu yang telah berdampak pada bencana ekologi di masa sekarang? Atau proyek ini digulirkan agar negara-negara selatan tidak ribut meminta pertanggungjawaban atas gagalnya model pembangunan yang telah dinasihatkan oleh Bank Dunia selama ini? Persis seperti pemberian permen dari seorang kakak kepada adiknya yang masih anak kecil agar jangan terus menangis meskipun kakaknya baru saja menjitak kepalanya.
Ide dasar proyek REDD adalah negara-negara utara membayar negara-negara selatan untuk mengurangi penggundulan hutan dalam wilayah mereka. Adapun kompensasinya ialah dengan memberikan bantuan keuangan untuk kepentingan tersebut. Beberapa pihak telah mengusulkan agar pendanaan proyek ini diambilkan dari kombinasi dana publik (Bantuan Pembangunan Resmi/ODA) dan pasar karbon.
Sejak 2006 hingga awal 2007, Bank Dunia mengembangkan usul skema pendanaan baru yang sangat besar untuk membiayai proyek-proyek pada sektor kehutanan di negara berkembang. Lembaga keuangan ini berencana menggunakan skema baru itu untuk mengimplementasikan strategi kehutanan dengan penekanan kuat pada pendanaan yang terkait dengan isu perubahan iklim.
Bahkan dalam proposal Global Forest Alliance (GFA), Bank Dunia mentargetkan pada 2015 terdapat 50 juta hektare kawasan lindung baru dan peningkatan kapasitas dari Departemen Kehutanan pusat untuk melindungi dan mengelola area-area tersebut. Bila tidak berpikir secara kritis, besarnya nilai proyek yang ditawarkan dalam proyek REDD itu mampu membuat kita terbuai dan melupakan dosa-dosa ekologi yang pernah dibuat Bank Dunia sebagai pendukung utama proyek ini. Untuk itu, tidak ada salahnya bila kita sejenak menoleh ke belakang guna menelusuri rekam jejak proyek-proyek pembangunan Bank Dunia beserta dampak sosial dan ekologinya.
Di Brasil, misalnya, pada 1982-1985 Bank Dunia memberikan dukungan kepada proyek pemindahan penduduk besar-besaran atas nama pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang lebih dikenal sebagai proyek Polonoroeste, yang di Indonesia lebih dikenal sebagai proyek transmigrasi. Dukungan keuangan pada proyek ini telah menghasilkan sebuah bencana ekologi yang dahsyat, bahkan Bank Dunia juga mengakui hal itu. Betapa tidak, proyek ini telah mendorong terjadinya konversi besar-besaran kawasan hutan menjadi lahan pertanian, kawasan komersial, dan pertambangan (Ecology Law, Bruce Rich).
Akibatnya, kawasan hutan di daerah itu mengalami degradasi yang cukup parah. Pada 1982 penggundulan hutan telah mencapai 4 persen dan pada 1985 meningkat menjadi 11 persen. Sementara itu, pada 1987 hampir seluruh hutan di kawasan itu telah lenyap. Bahkan pada tahun yang sama sebuah gambar citra satelit menunjukkan terdapat 6.000 titik api pembakaran untuk membuka hutan dari seluruh kawasan hutan Amazon.
Celakanya, proyek semacam itu juga dilakukan oleh Bank Dunia di Indonesia. Lembaga ini merupakan pihak yang pertama kali terlibat dalam proyek transmigrasi di Indonesia pada 1974. Sama seperti proyek Polonoroeste, proyek ini juga menimbulkan kerusakan dan penggundulan hutan besar-besaran.
Pulau Sulawesi dan Sumatera adalah kawasan yang paling parah menderita kerugian ekologi akibat proyek ini. Di Sumatera, sekitar 2,3 juta hektare tanah yang semula merupakan hutan hujan alam telah menjadi lahan kritis. Adapun di Sulawesi, 30 persen wilayah hutan yang terkena proyek transmigrasi ini berubah menjadi lahan kritis (Lord of Property: The Power, Prestige, and Corruption of the International Aid Business, Graham Hancock, 1989).
Ironisnya, meskipun gencar mendanai proyek rehabilitasi hutan dengan mengatasnamakan perlindungan bumi dari bencana perubahan iklim, lembaga ini juga gencar mendanai proyek-proyek pada sektor energi fosil sebagai penyebab utama terjadinya perubahan iklim. Pada periode 1992 hingga 2004, misalnya, grup Bank Dunia justru mengucurkan US$ 28 miliar dananya untuk membiayai proyek yang terkait dengan energi fosil. Sedangkan pada tahun fiskal 2005, proporsi pendanaan proyek energi terbarukan kurang-lebih hanya 5 persen dari seluruh pendanaan dari Bank Dunia untuk proyek energi.
Melihat rekam jejak proyek Bank Dunia tersebut, timbullah sebuah pertanyaan apakah proyek REDD tersebut sengaja digulirkan sekadar sebagai proyek pencuci dosa ekologi dari Bank Dunia dan negara-negara kaya lainnya di masa lalu yang telah berdampak pada bencana ekologi di masa sekarang? Atau proyek ini digulirkan agar negara-negara selatan tidak ribut meminta pertanggungjawaban atas gagalnya model pembangunan yang telah dinasihatkan oleh Bank Dunia selama ini? Persis seperti pemberian permen dari seorang kakak kepada adiknya yang masih anak kecil agar jangan terus menangis meskipun kakaknya baru saja menjitak kepalanya.
No comments:
Post a Comment