PENDAHULUAN
Agaknya betul kata Marshall McLuhan bahwa televisi hanya membawa kebrutalan perang ke dalam ruang keluarga yang nyaman. Vietnam, menurut McLuhan, takluk dalam ruang-ruang keluarga Amerika, bukan di medan perang.
Jika seperti itu, kini, siapa yang berani melawan kekuatan televisi? Dengan kehadirannya yang begitu masif dan sesnsaional di tengah ruang keluarga, rasanya sulit mencegah hegemoni televisi terhadap kehidupan kita. Dibandingkan media lain, seperti buku, televisi merupakan suatu hiburan yang paling diminati oleh masyarakat. Walaupun harganya tidak bisa dibilang murah, tapi adalah suatu keharusan bagi setiap keluarga untuk setidaknya punya satu pesawat TV di ruang tamu mereka. Televisi tidak hanya hadir untuk keluarga berada, tapi ia juga mampu memberi hiburan sampai ke pelosok desa.
Dalam sebuah penelitian, menunjukkan bahwa televisi memiliki daya penetrasi jauh lebih besar daripada media informasi lainnya. Penetrasi televisi mencapai 90,7 persen, bandingkan dengan radio (39%), surat kabar (29,8%), majalah (22,4%), dan internet (8,8%).
Nielsen Media Research (2004)
Di Indonesia sendiri, perkembangan awal dari media televisi adalah sekitar tahun 1960-an. Soekarno tidak ingin negaranya dibilang ketinggalan jaman oleh negara lain. Oleh karena itu, selain membangun Monas dan Hotel Indonesia, televisi adalah salah satu monumen yang diperjuangkan oleh Soekarno.
Setelah Soeharto berkuasa, fungsi dari televisi digunakan bukan sebagai media massa, tapi sebagai media pemerintah seperti memberitakan berita ataupun propaganda. Dia ada untuk pemerintah dan dia melayani pemerintah. Masyarakat dibuat bodoh, karena setiap orang hanya cukup duduk diam, lihat dan dengar.
Sejak saat itu, lebih dari 70% uang yang beredar, berada pada keluarga orang-orang Soeharto saja. Maka pada awal tahun 1990-an, muncullah lebih banyak lagi media-media swasta. Bukan karena masyarakat butuh media baru, tapi karena kelebihan uang, sejak yang mempunyai saham atas perusahan-perusahaan TV swasta adalah orang orang dari "golongan terpilih" Soeharto.
APA, MENGAPA DAN BAGAIMANA?
Disini, televisi menjadi sebuah episode baru dari sebuah kehancuran. Karena setelah masyarakat dibuat bodoh, generasi-generasi baru dibuat menjadi konsumtif. Sampai sekarangpun televisi belum mampu memberikan informasi yang benar-benar layak di konsumsi (kalaupun ada itupun jumlahnya sedikit sekali). Setelah kejatuhan Orde Baru, media televisi menjadi lahan bisnis yang empuk untuk para konglomerat-konglomerat yang juga ingin bermain didalamnya. Sehingga tujuan dari televisi, bukan lagi sebagai media informasi, tapi hanya sebagai media eksploitasi untuk mengeruk keuntungan.
Membiarkan media televisi melenggang begitu saja adalah tindakan bodoh. Pasalnya, di setiap waktu, televisi selalu melancarkan teror (mental dan perilaku) kepada masyarakat. Ada berbagai permasalahan yang serius berkenaan dengan media televisi. Apalagi, ketika kita mengetahui bahwa media ini lebih banyak diserap masyarakat menengah ke bawah. Pasalnya, kelompok masyarakat ini cenderung tidak kritis dan menelan mentah-mentah semua yang ditampilkan di televisi. Artinya, meskipun program stasiun TV nihil tanggung jawab, masyarakat akan tetap menerimanya.
Di sinilah teror media televisi bekerja. Caranya dengan mengeksploitasi semua keinginan masyarakat, perusahaan-perusahaan TV mulai berlomba-lomba menciptakan program-program yang memuaskan keinginan dan mewujudkan 'mimpi' masyarakat. Sehingga, televisi hanya akan menjadi pelayan yang mengilusi dan meninabobokan, tetapi tidak mempunyai daya untuk membangun masyarakat. Dan pada akhirnya peran televisi adalah 'menjual bukan memberi'.
Dari segi bahasa saja bisa kita lihat terornya. Pemakaian bahasa gaul dan populer ala Jakarta, seperti lo-gue dan so what gitu loh, akhirnya merambah sampai ke Aceh, Manado, bahkan Papua. Juga soal gaya hidup remaja Jakarta yang ditiru remaja-remaja di daerah terpencil. Budaya imitatif ini tumbuh marak sebagai konsekuensi logis dari pesona superfisial yang ditampilkan media televisi.
Gejala peniruan atas apa yang ditampilkan di televisi, pada gilirannya akan mendorong tumbuh-suburnya budaya pop (pop culture) yang rendahan, yang dikangkangi oleh kekuatan kapitalis/modal. Rekayasa sosial (social engineering) terjadi bukan karena kesadaran masyarakat untuk pengembangan, melainkan terjadi karena hegemoni kekuatan modal yang membentuk masyarakat semakin tergantung (dependent) pada media televisi.
Logika komersial membuat berbagai program acara televisi menjadi seragam bentuknya. Ketika suatu program menjadi laris-manis maka program-program serupa juga semakin bermunculan. Persis sebagaimana kita berada di tengah pasar malam, semua stasiun televisi menayangkan kegemerlapan, pesona fisik, dan hal-hal lain yang superfisial. Di balik kegemerlapan, ke-glamouran dan hal-hal superfisial itulah, dipropagandakan keasyikan terhadap hal-hal yang berada di luar kesadaran diri. Kemudian muncul kekaguman dan kebahagiaan di luar batas, sehingga memicu kegandrungan untuk terus mengkonsumsi, untuk terus hidup dalam gaya modern dan kemewahan.
Akibatnya, kepribadian yang kemudian menonjol adalah individualisme. Nilai-nilai moralitas, sosial-kemasyarakatan, mulai terpinggirkan oleh hal-hal yang superfisial, seperti materi dan jabatan.
Agaknya betul kata Marshall McLuhan bahwa televisi hanya membawa kebrutalan perang ke dalam ruang keluarga yang nyaman. Vietnam, menurut McLuhan, takluk dalam ruang-ruang keluarga Amerika, bukan di medan perang.
Jika seperti itu, kini, siapa yang berani melawan kekuatan televisi? Dengan kehadirannya yang begitu masif dan sesnsaional di tengah ruang keluarga, rasanya sulit mencegah hegemoni televisi terhadap kehidupan kita. Dibandingkan media lain, seperti buku, televisi merupakan suatu hiburan yang paling diminati oleh masyarakat. Walaupun harganya tidak bisa dibilang murah, tapi adalah suatu keharusan bagi setiap keluarga untuk setidaknya punya satu pesawat TV di ruang tamu mereka. Televisi tidak hanya hadir untuk keluarga berada, tapi ia juga mampu memberi hiburan sampai ke pelosok desa.
Dalam sebuah penelitian, menunjukkan bahwa televisi memiliki daya penetrasi jauh lebih besar daripada media informasi lainnya. Penetrasi televisi mencapai 90,7 persen, bandingkan dengan radio (39%), surat kabar (29,8%), majalah (22,4%), dan internet (8,8%).
Nielsen Media Research (2004)
Di Indonesia sendiri, perkembangan awal dari media televisi adalah sekitar tahun 1960-an. Soekarno tidak ingin negaranya dibilang ketinggalan jaman oleh negara lain. Oleh karena itu, selain membangun Monas dan Hotel Indonesia, televisi adalah salah satu monumen yang diperjuangkan oleh Soekarno.
Setelah Soeharto berkuasa, fungsi dari televisi digunakan bukan sebagai media massa, tapi sebagai media pemerintah seperti memberitakan berita ataupun propaganda. Dia ada untuk pemerintah dan dia melayani pemerintah. Masyarakat dibuat bodoh, karena setiap orang hanya cukup duduk diam, lihat dan dengar.
Sejak saat itu, lebih dari 70% uang yang beredar, berada pada keluarga orang-orang Soeharto saja. Maka pada awal tahun 1990-an, muncullah lebih banyak lagi media-media swasta. Bukan karena masyarakat butuh media baru, tapi karena kelebihan uang, sejak yang mempunyai saham atas perusahan-perusahaan TV swasta adalah orang orang dari "golongan terpilih" Soeharto.
APA, MENGAPA DAN BAGAIMANA?
Disini, televisi menjadi sebuah episode baru dari sebuah kehancuran. Karena setelah masyarakat dibuat bodoh, generasi-generasi baru dibuat menjadi konsumtif. Sampai sekarangpun televisi belum mampu memberikan informasi yang benar-benar layak di konsumsi (kalaupun ada itupun jumlahnya sedikit sekali). Setelah kejatuhan Orde Baru, media televisi menjadi lahan bisnis yang empuk untuk para konglomerat-konglomerat yang juga ingin bermain didalamnya. Sehingga tujuan dari televisi, bukan lagi sebagai media informasi, tapi hanya sebagai media eksploitasi untuk mengeruk keuntungan.
Membiarkan media televisi melenggang begitu saja adalah tindakan bodoh. Pasalnya, di setiap waktu, televisi selalu melancarkan teror (mental dan perilaku) kepada masyarakat. Ada berbagai permasalahan yang serius berkenaan dengan media televisi. Apalagi, ketika kita mengetahui bahwa media ini lebih banyak diserap masyarakat menengah ke bawah. Pasalnya, kelompok masyarakat ini cenderung tidak kritis dan menelan mentah-mentah semua yang ditampilkan di televisi. Artinya, meskipun program stasiun TV nihil tanggung jawab, masyarakat akan tetap menerimanya.
Di sinilah teror media televisi bekerja. Caranya dengan mengeksploitasi semua keinginan masyarakat, perusahaan-perusahaan TV mulai berlomba-lomba menciptakan program-program yang memuaskan keinginan dan mewujudkan 'mimpi' masyarakat. Sehingga, televisi hanya akan menjadi pelayan yang mengilusi dan meninabobokan, tetapi tidak mempunyai daya untuk membangun masyarakat. Dan pada akhirnya peran televisi adalah 'menjual bukan memberi'.
Dari segi bahasa saja bisa kita lihat terornya. Pemakaian bahasa gaul dan populer ala Jakarta, seperti lo-gue dan so what gitu loh, akhirnya merambah sampai ke Aceh, Manado, bahkan Papua. Juga soal gaya hidup remaja Jakarta yang ditiru remaja-remaja di daerah terpencil. Budaya imitatif ini tumbuh marak sebagai konsekuensi logis dari pesona superfisial yang ditampilkan media televisi.
Gejala peniruan atas apa yang ditampilkan di televisi, pada gilirannya akan mendorong tumbuh-suburnya budaya pop (pop culture) yang rendahan, yang dikangkangi oleh kekuatan kapitalis/modal. Rekayasa sosial (social engineering) terjadi bukan karena kesadaran masyarakat untuk pengembangan, melainkan terjadi karena hegemoni kekuatan modal yang membentuk masyarakat semakin tergantung (dependent) pada media televisi.
Logika komersial membuat berbagai program acara televisi menjadi seragam bentuknya. Ketika suatu program menjadi laris-manis maka program-program serupa juga semakin bermunculan. Persis sebagaimana kita berada di tengah pasar malam, semua stasiun televisi menayangkan kegemerlapan, pesona fisik, dan hal-hal lain yang superfisial. Di balik kegemerlapan, ke-glamouran dan hal-hal superfisial itulah, dipropagandakan keasyikan terhadap hal-hal yang berada di luar kesadaran diri. Kemudian muncul kekaguman dan kebahagiaan di luar batas, sehingga memicu kegandrungan untuk terus mengkonsumsi, untuk terus hidup dalam gaya modern dan kemewahan.
Akibatnya, kepribadian yang kemudian menonjol adalah individualisme. Nilai-nilai moralitas, sosial-kemasyarakatan, mulai terpinggirkan oleh hal-hal yang superfisial, seperti materi dan jabatan.
"Jika ingin menjadi manusia baru, manusia yang sadar diri, maka beranilah untuk: Matikan TV-mu! Ataupun jika anda belum berani seperti itu, maka mulailah dari sekarang untuk: Matikan Otak-mu dari Pengaruh Buruk Propaganda Media TV!"
1 comment:
boz... boleh minta gambarnya, gw mau pasang di [] vyrist.wordpress.com [] itu juga kalo boleh, i need ur answer boz, please jawab lewat imel ke vyrist13@gmail.com
thanks before
Post a Comment