Ku menangis dan ku menitikkan air mata
Tapi...
Air mataku bukan untuk negeriku
Kuteteskan dan kupersembahkan
Buat ibu tua si penjual sayuran
Yang tiap pagi berjalan tanpa alas kaki
Mengelilingi kompleks-kompleks megah perumahan
Membiarkan telapak kakinya tertikam kerikil
Dan merelakan kulitnya tersengat mentari
Aku menangis untuk telapak kakinya
Yang telanjang dan kasar tergores kerasnya jalanan
Karena disana penguasa negeriku
Berjalan dengan angkuh
Memamerkan sepatunya yang berkilat dan bermerek
Aku bersedih untuk pakaian usangnya
Yang kumal dan tua terkikis ganasnya debu kemiskinan
Karena disana penguasa negeriku
Berseliweran kesana-kemari
Bangga dengan jas dan dasinya yang dibeli di luar negri
Aku berduka untuk kerut wajahnya
Yang mulai digerogoti kejamnya roh kemiskinan
Karena dalam istana negeriku
Aroma parfum mahal saling berlomba
Berbagai kosmetik dilelang
Perang merek menjadi rutinitas sehari-hari
Sekali lagi...
Air mataku bukan untuk negeriku
Monster-monster berdasi itu telah menyihirnya
Menjadi sangkar serigala dan babi serakah
Meski kini usianya beranjak tua
Tapi negeriku juga semakin tergadai
Ia menjadi rebutan dalam bursa kuasa
Menjadikan pemimpinku tak berdaya
Layaknya boneka pajangan etalase kapitalis
Dan untuk sekali lagi...
Air mataku bukan untuk negeriku
Meski aku tahu ia sekarang diuji
Sebab air mataku telah terkuras
Untuk memandikan jenazah si miskin
Yang menggadai nyawanya hanya untuk makan
Air mataku pun sudah mengering
Untuk saudara-saudaraku di Papua
Busung lapar di kerajaannya sendiri
Yang terisolasi karena hartanya dirampas
Oleh korporasi keparat yang tak tahu terima kasih
Dan untuk terakhir kalinya...
Titik-titik air mataku yang masih tersisa ini
Sekali lagi bukan untuk negeriku !
Tapi akan kutampung dalam gelas
Untuk memberi minum adik-adik kecilku
Yang beradu nyawa diperempatan jalan
Dan menggantungkan hidupnya
Pada ecek-ecek usang dan tutup botol berkayu
Serta kantong plastik bekas gorengan
Sebagian lagi akan kugunakan air mataku ini
Untuk membersihkan tubuh saudara-saudaraku
Yang terguyur pekatnya lumpur panas
Oleh mesin-mesin pemangsa alamku
Untuk melahirkan semburan uang
Dan akhirnya...
Tak ada lagi air mataku yang tersisa
Untuk kupakai meratapi negeriku
Karena aku sudah terlalu lama menunggu
Tetapi bukti dan janji tak kunjung tiba
Di hari lahirmu ini...
Ingin rasanya kuciumi telapak 'sang nahkoda' negeri ini
Tapi aku menjadi malas kembali
Karena telapaknya begitu halus tak berkerut
Dan kukunya pun begitu licin
Sementara si ibu tua penjual sayuran
Telapaknya mengelupas, kotor dan kasar
Kuku-kukunya pun hitam tak terawat
Karena setiap hari harus berjalan puluhan kilo
Bersama gerobak tua dan ember-ember usangnya
Tapi dalam hati kecilku ini berteriak
Nuraniku pun ikut berbisik
"Hey, ciumlah telapak itu dan menangislah untuknya !"
(Gresik, 17 Agt ’07)
2/27/2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment