5/28/2008

Neoliberal = Agenda Pemiskinan Oleh Korporasi

Selama ini modal asing yang digelontorkan oleh korporasi-korporasi besar, memiliki peranan yang sangat besar dalam perubahan dinamika kebudayaan lokal (di Indonesia). Korporasi-korporasi tersebut memang "menaikkan" peradaban lokal melalui pembangunan dan "meningkatkan" kesejahteraan lokal, tetapi korporasi juga harus bertanggung jawab terhadap hancurnya kebudayaan lokal yang ada. Selain itu, rusaknya tatanan ekosistem di wilayah sekitar yang menjadi "kekuasaan" korporasi juga merupakan daftar panjang dari efek samping yang timbul akibat masuknya modal asing secara membabi-buta.

Untuk berinvestasi disuatu wilayah negara memang membutuhkan suatu legalitas hukum di wilayah tersebut. Karena itu diperlukan "pemaksaan" yang lebih kuat dan lebih besar dari sekedar uang agar modal asing dan korporasinya dapat beroperasi disana. Dan senjata yang paling ampuh dan seringkali digunakan untuk "membodohi" suatu negara adalah melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh IMF ataupun WTO. Ketika suatu negara, seperti Indonesia, memutuskan untuk menerima bantuan ekonomi dari para agen neoliberal tersebut maka negara itu dapat "diperalat" dengan mudah (baca: tidak berdaya) sehingga akibatnya modal asing dapat masuk dengan bebas disana.

Dengan memakai alasan yang klise, yaitu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara "pasien" tersebut maka mau tidak mau negara penghutang harus menerima kebijakan yang "dipaksakan" oleh badan pendonor. Sehingga tidak ada pilihan lain bagi negara penghutang, yaitu harus merelakan wilayahnya untuk digarap dan dijadikan lahan industri. Dan akibatnya penduduk asli disana terpaksa harus beradaptasi mengikuti perkembangan budaya yang baru.

Perubahan dinamika kebudayaan lokal dan rusaknya alam di wilayah yang digarap oleh korporasi, sering kali dianggap sebagai sebuah hal yang wajar dan bukan dampak langsung dari modal asing yang ditanamkan disana. Karena mereka beralasan bahwa hal tersebut merupakan fenomena yang wajar dalam sebuah dinamika kehidupan di wilayah industri.

Apakah Korporasi Lepas Tangan dalam Masalah ini ?

Ketika suatu korporasi masuk dan menggarap suatu wilayah yang sebelumnya tidak pernah "terjamah" oleh kegiatan industri, dengan kata lain masih perawan/alami, tentunya penduduk asli disana dipaksa harus bisa beradaptasi dengan budaya industri yang dibawa oleh korporasi, yang bahkan sebelumnya tidak pernah mereka kenal sama sekali. Hal ini adalah wajib, karena korporasi membutuhkan legalitas dan dukungan dari penduduk sekitar agar dapat beroperasi dengan lancar di wilayah mereka.

Dengan kata lain, dinamika kebudayaan yang ada harus bisa mendukung kebutuhan korporasi dalam mengakumulasikan modal mereka. Padahal belum tentu kebudayaan yang baru akan cocok dengan kebudayaan lokal yang ada. Dan bisa ditebak, dampak yang terjadi selanjutnya adalah kesenjangan akibat pemaksaan kebudayaan oleh korporasi terhadap budaya lokal yang berlaku. Kesenjangan itu adalah kesenjangan kepercayaan, kesejahteraan, gaya hidup, cara bertahan hidup dan lain-lain.

Contohnya seperti kasus masuknya Freeport ke Papua. Perlu diketahui bahwa sebelumnya, kebudayaan di sana (Papua), tidak mengenal adanya budaya bekerja untuk menumpuk kekayaan. Para penduduk Papua hanya mencari binatang untuk diternakkan (untuk selanjutnya dimakan), atau dikonsumsi seketika. Mereka juga bebas mengambil kayu untuk kepentingan mereka, memanfaatkan kekayaan alam untuk menyambung hidup ataupun melakukan apa yang mereka sukai tanpa adanya pembayaran ataupun larangan kepada pihak lain. Dan ketika Freeport masuk kesana, seketika pula kehidupan mereka berubah drastis. Mereka harus rela kehilangan wilayah perburuan mereka, melakukan praktik jual beli untuk apa yang mereka ambil (padahal dari alam mereka sendiri) dan larangan untuk memasuki wilayah-wilayah tertentu. Selanjutnya, membuat kebutuhan akan uang dan kerja menjadi begitu penting bagi mereka. Padahal sebelumnya mereka tidak mengenal hal tersebut.

Inilah sebuah agenda neoliberal dalam upaya mengkonstruksi pemiskinan dalam wilayah lokal. Korporasi tersebut akan memaksakan budaya baru bagi penduduk lokal. Jika pada awalnya penduduk lokal tidak perlu bekerja untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya (mengacu pada kasus Freeport), tapi ketika budaya industri masuk dan mengharuskan penduduk untuk mulai mencari uang maka terpaksa mereka harus mau bekerja di lingkungan industri sebagai pekerja kasar dengan upah yang sangat minim. Karena sebelumnya mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan untuk bekerja di posisi dengan upah yang memadai. Sementara kebutuhan pokok tetap terpenuhi dan dibeli, membuat mereka harus menerima nasib sebagai pekerja dengan upah minim. Dan tentu hasilnya sudah dapat diperkirakan, hidup dengan upah minim sementara kebutuhan hidup harus tetap ada, membuat sebuah keadaan baru bagi mereka dalam hidup yang serba kekurangan (miskin).

Dan hal inilah yang tetap dijaga oleh korporasi di wilayah tersebut karena korporasi tetap membutuhkan para pekerja yang mau diupah minim. Sementara pekerja yang demikian, adalah pekerja yang mengalami kondisi kesulitan memilih. Yaitu para pekerja yang tidak punya lagi pilihan hidup jika tidak bekerja pada korporasi tersebut. Bagaimana tidak, jika hanya ada sebuah korporasi yang memonopoli industri di wilayah itu, maka hal ini membuat penduduk lokal terpaksa mau menerima pilihan untuk bekerja dan diupah minim. Sehingga kemiskinan yang terjadi merupakan efek samping yang dihasilkan karena masuknya modal asing dalam sebuah wilayah yang sebelumnya tidak mengenal kerja yang diupah oleh uang.

Sadar atau tidak, hal inilah yang merupkan sebuah konstruksi pemiskinan yang sengaja diciptakan oleh korporasi!

Walaupun ada usaha dari korporasi yang seakan bertujuan untuk memperbaiki keadaan ini (dengan mendirikan sekolah untuk memperbaiki tingkat pendidikan disana), namun dampak-dampak diatas jauh lebih riil. Dan jika ditelaah lebih lanjut, dengan didirikannya sekolah-sekolah baru bukankah malah menambah beban yang harus ditanggung oleh penduduk. Karena tentu saja sekolah yang dimaksud tidak bebas biaya. Sehingga hal ini yang membuat penduduk lokal mengalami keterpurukan ekonomi yang sangat parah. Sudah dibebani dengan perubahan gaya hidup dari serba gratis dari alam menjadi serba membayar, ditambah dengan imaji perbaikan nasib melalui sekolah, namun harus menambah kegiatan kerja demi mencari dana untuk sekolah. Membuat mereka tidak punya pilihan lain : bekerja atau tetap hidup dalam kemiskinan.

Namun sepertinya hal ini tidak menjadi salah korporasi, dan hal ini sepertinya tidak dianggap sebagai efek negatif dari masuknya modal ke wilayah tersebut. Padahal korporasi adalah pihak pertama yang diuntungkan dengan keadaan itu. Belum lagi dengan rusaknya alam akibat eksploitasi industri, membuat penduduk lokal kehilangan wilayah 'kerja' mereka dan kembali pilihan bekerja pada korporasi menjadi jawabannya. Hal inilah yang dimaksud dengan bahwa korporasi ikut bertanggung jawab dalam konstruksi pemiskinan di sebuah negara (khususnya negara penghutang seperti Indonesia) melalui kebijakan neoliberal tentang pasar bebas (modal asing).

The Next Construction For Our Life's
Selanjutnya adalah bagaimana korporasi menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru bagi kita, yang sebelumnya mungkin tidak kita butuhkan. Bagaimana strategi mereka? Tentu saja, melalui media komersil yang terus "memanjakan" tapi "membius" kehidupan sehari-hari kita. Dengan semakin menjamurnya iklan-iklan produk diberbagai media, korporasi mencoba untuk menghipnotis kita untuk membeli produk mereka, sehingga membuat tingkat konsumsi menjadi sangat-sangat tinggi.

Kebutuhan sekunder dan tersier telah menjadi kebutuhan primer. Dan bukankah hal itu yang diinginkan korporasi? Membuat kita merasa perlu bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan yang semakin lama semakin bertambah banyak. Itulah proses pemiskinan yang tengah kita alami, karena kita merasa tingkat kebutuhan kita semakin lama terasa semakin tidak terpenuhi.

Berapa banyak dari kita yang saat ini tidak merasa perlu untuk memiliki ponsel?
Berapa banyak dari kita yang kini masih dapat hidup tanpa perlu menggunakan kendaraan pribadi?
Dan berapa banyak dari kita yang saat ini tidak merasa perlu untuk bekerja?

Sementara kebutuhan hidup semakin lama semakin tidak dapat ditoleransi dan seakan semuanya harus tetap terpenuhi (untuk kelangsungan hidup). Bukankah hal ini yang diharapkan oleh korporasi?

Membuat kita merasa hidup dalam kemiskinan sehingga harus terus bekerja dan terus membeli kebutuhan. Jika ini yang diharapkan oleh korporasi, bukankah hal ini seakan telah dikonstruksi oleh korporasi tersebut. Dengan kata lain korporasi memberi sumbangan yang cukup besar dalam sebuah proses pemiskinan yang kita alami. Inilah agenda neoliberal korporasi-korporasi besar. Dan tentunya hal ini merupakan bahaya yang sudah ada di depan mata.

Tepat dan mungkin saja anda selanjutnya yang akan (atau telah) menjadi korban!

No comments: